Selasa, 24 Mei 2011
Waktu
Waktu
Karya: Deddy Firtana Iman
Misalnya aku menjadi detik
ketika jam dinding mengabarkan
waktu kebahagiaan untukmu
izinkan aku mengabarkan
sesuatu kebahagiaan
sebelum mimpi indahmu
pergi menemani tidurmu
Ketahuilah wahai kekasihku
detak jantungku tak mampu
meneruskan kepercayaan
cintaku untukmu
bersabarlah menunggu
demi waktu yang tersisa untukmu
17 September 2010
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 03 Oktober, 2010
Sumber:
Youtube
Minggu, 08 Mei 2011
Mawar Merah
Mawar Merah
Karya: Deddy Firtana Iman
Mawar merah
dan segenggam madu.
Kian merekah
mengukir kelabu.
Menatap sepi
pada pelangi mengibarkan jingga.
Langkah kaki ini kian berhenti
melamun menatapnya.
Kumbang yang datang
madu tak tergenggam.
Cerita ini kian mengarang
membasuh cahaya malam.
Mawar merah
dan segenggam madu.
Cerita lama
dan isyarat membisu.
2010
Sumber:
Youtube
Ujung Pancu
Ujung Pancu
Karya: Deddy Firtana Iman
Keringat kita sudah terlalu lelah
mandi dengan keringat perkotaan
hingga lupa pada air yang jernih dan suci
mata air di ujung sana sudah menanti
Perjalanan kita sudah melampaui setengah jam
dengan semburan angin angin menyegarkan
perjalanan kita di pagi yang cerah ini
dan persinggahan hanya sekejap saja
Lihatlah ke sebelah kiri dan kanan kita
rumput rumput menari nari dengan alunan angin
suara burung burung bersahutan riang gembira
dengan kehadiran si anak kota yang aneh
Cepatkanlah langkah kaki kita kawan
tak banyak waktu melamun tentang keindahannya
dan kita juga harus menyisakan keindahan itu
dalam pikiran dan selembar foto yang damai
Kau rasakanlah suara ombak dan angin yang kencang
suasana yang tenang dan nyaman untuk menyendiri
bersama sahabat sahabat dan membuang kebosanan
2010
Sumber:
Youtube
Prettyca Yudra Perdana
Prettyca Yudra Perdana
Karya: Deddy Firtana Iman
Jalan menuju cahaya matamu
melambatkan gerak-gerik
tubuh tak menentu
melayang ke arah lantai dasar hatimu
kian terpukul menangis
Aku mulai jatuh
kesakitan diantara batu-batu mutiara
cahaya kilauanmu
Begitu menyedihkan
jika tatapanku tak mampu
mampir di deretan cahaya matamu
17 Juli 2010
Sumber:
Youtube
Bunga Mawar
Bunga Mawar
Karya: Deddy Firtana Iman
Mawar merah
dan segenggam madu.
Kian merekah
mengukir kelabu.
Menatap sepi
pada pelangi mengibarkan jingga.
Langkah kaki ini kian berhenti
melamun menatapnya.
Kumbang yang datang
madu tak tergenggam.
Cerita ini kian mengarang
membasuh cahaya malam.
Mawar merah
dan segenggam madu.
Cerita lama
dan isyarat membisu.
2010
Sumber:
Youtube
Januari
Karya: Deddy Firtana Iman
Korban kekerasan
Tikamlah aku
Sebelum saadnya
Korban keganasan
Injaklah aku
Sebelum kumarah
Korban kebohongan
Tipulah aku
Sebelum kusadar
Korban kebencian
Hinalah aku
Sebelum aku pergi
Januari
Itulah cerita negeri kami
Para penjilat lidah menari
Sebelum esok berganti Juni
2009
Dimuat di Koran "Lensa Unmuha" edisi VI/Maret 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Korban kekerasan
Tikamlah aku
Sebelum saadnya
Korban keganasan
Injaklah aku
Sebelum kumarah
Korban kebohongan
Tipulah aku
Sebelum kusadar
Korban kebencian
Hinalah aku
Sebelum aku pergi
Januari
Itulah cerita negeri kami
Para penjilat lidah menari
Sebelum esok berganti Juni
2009
Dimuat di Koran "Lensa Unmuha" edisi VI/Maret 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Ruang Kosong
Karya: Deddy Firtana Iman
Sepi menyindir
Bercahaya gelap gulita
Mata kucing mulai bercahaya
Bocah menangis tiada tanya
Sepiring kumal tanda jadi
Sepintas lemah pun mati
Kematian
Auman kelaparan
Menjadi belenggu tiada akhir
Mencabik-cabik ruangan
Kunci pegangan mulai pergi
Kearah Matahari
Tiada arti si Kecil sendiri
Mati nanti mungkin hari ini
2009
Dimuat di Majalah Lensa Unmuha
Kamis, 2009 Januari 29
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Sepi menyindir
Bercahaya gelap gulita
Mata kucing mulai bercahaya
Bocah menangis tiada tanya
Sepiring kumal tanda jadi
Sepintas lemah pun mati
Kematian
Auman kelaparan
Menjadi belenggu tiada akhir
Mencabik-cabik ruangan
Kunci pegangan mulai pergi
Kearah Matahari
Tiada arti si Kecil sendiri
Mati nanti mungkin hari ini
2009
Dimuat di Majalah Lensa Unmuha
Kamis, 2009 Januari 29
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Kertas
Karya: Deddy Firtana Iman
Kertas merah
di daur ulang menjadi merah jambu
terlalu sulit
merangkai bentuk wajah indahmu
sedangkan malam
memudarkan warna hati
hitam bertaburan bintang
07 September 2010
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 03 Oktober, 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Kertas merah
di daur ulang menjadi merah jambu
terlalu sulit
merangkai bentuk wajah indahmu
sedangkan malam
memudarkan warna hati
hitam bertaburan bintang
07 September 2010
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 03 Oktober, 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Waktu
Karya: Deddy Firtana Iman
Misalnya aku menjadi detik
ketika jam dinding mengabarkan
waktu kebahagiaan untukmu
ijinkan aku mengabarkan
sesuatu kebahagiaan
sebelum mimpi indahmu
pergi menemani tidur
Ketahuilah wahai kekasihku
detak jantungku tak mampu
meneruskan kepercayaan
cintaku untukmu
bersabarlah menunggu
demi waktu yang tersisa untukmu
17 September 2010
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 03 Oktober, 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Misalnya aku menjadi detik
ketika jam dinding mengabarkan
waktu kebahagiaan untukmu
ijinkan aku mengabarkan
sesuatu kebahagiaan
sebelum mimpi indahmu
pergi menemani tidur
Ketahuilah wahai kekasihku
detak jantungku tak mampu
meneruskan kepercayaan
cintaku untukmu
bersabarlah menunggu
demi waktu yang tersisa untukmu
17 September 2010
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 03 Oktober, 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Hitam Pekat
Karya: Deddy Firtana Iman
Di balik lentera hati
ada beberapa insan kata
berhenti hanya tersenyum
dengan sedikit hembusan angin
Kedekatanku
tak pernah menimbulkan
kejiwaan dadakan
menghembuskan kata-kata
di daerah takdir tak bertepi
Seumpama kertas itu
hanya berwarna hitam
maka hitamlah ratapan kita
tak terlihat dengan mata telanjang
2010
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 19 September, 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Di balik lentera hati
ada beberapa insan kata
berhenti hanya tersenyum
dengan sedikit hembusan angin
Kedekatanku
tak pernah menimbulkan
kejiwaan dadakan
menghembuskan kata-kata
di daerah takdir tak bertepi
Seumpama kertas itu
hanya berwarna hitam
maka hitamlah ratapan kita
tak terlihat dengan mata telanjang
2010
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 19 September, 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Renungan Malam
Karya: Deddy Firtana Iman
Kau telah menyingsut kedinginan
betapa kenestapaan itu terjalin sepi
menandakan bintang-bintang kian
tersenyum melihat bulan di dekat
landasan perbaringan mengapai takdir
mimpi
tiada kata untuk mengucapkan salam
perpisahan
di antara bayangan kerinduan untukmu
sebelum mengapai pagi
(Agustus 2010)
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 29 Agustus, 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Kau telah menyingsut kedinginan
betapa kenestapaan itu terjalin sepi
menandakan bintang-bintang kian
tersenyum melihat bulan di dekat
landasan perbaringan mengapai takdir
mimpi
tiada kata untuk mengucapkan salam
perpisahan
di antara bayangan kerinduan untukmu
sebelum mengapai pagi
(Agustus 2010)
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 29 Agustus, 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Sempurna Terdiam Sepi
Karya: Deddy Firtana Iman
Lihatlah
hamparan pasir di pantai
Berjalanlah
memakai alam pikiran kesegaran hati
Jangan berhenti
penyesalan menghantui dirimu
dan tetap berjalan
Rasakanlah air asinnya
basuhlah kedua tanganmu
dan rasakan kesempurnaan
tanpa terdiam sepi
karena angin menemanimu
di setiap langkah kakimu
2010
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 25 July, 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Lihatlah
hamparan pasir di pantai
Berjalanlah
memakai alam pikiran kesegaran hati
Jangan berhenti
penyesalan menghantui dirimu
dan tetap berjalan
Rasakanlah air asinnya
basuhlah kedua tanganmu
dan rasakan kesempurnaan
tanpa terdiam sepi
karena angin menemanimu
di setiap langkah kakimu
2010
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 25 July, 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Tak Ingin Usai
Karya: Deddy Firtana Iman
Bahwasannya aku
masih menyisakan waktu
bermanja pada wujudmu
Tak ingin usai
walaupun kusudahi
kesempatan untuk menemui
disetiap jarak isi hati
dengan segalagala hari
hingga kuakui
Aku tak ingin usai
dicintai dan dimengerti
oleh sebuah hati
dari dirimu sendiri
2010
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 09 Mei, 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Bahwasannya aku
masih menyisakan waktu
bermanja pada wujudmu
Tak ingin usai
walaupun kusudahi
kesempatan untuk menemui
disetiap jarak isi hati
dengan segalagala hari
hingga kuakui
Aku tak ingin usai
dicintai dan dimengerti
oleh sebuah hati
dari dirimu sendiri
2010
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 09 Mei, 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Ayah
Karya: Deddy Firtana Iman
Doakanlah untuknya
yang telah membesarkanmu
walaupun wujudmu
menangisi kepergianya
Kusadari
semuanya tiada yang abadi
walaupun kita berdiri
di tepian waktu sekian hari
Dan hari ini
aku juga mendoakanmu
dan Ayahmu juga
Amin
2010
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 25 April 2010
Puisi ini kupersembahkan untuk berpulang ke rahmatullah, Ayahanda dari sahabatku T Arizona. Semoga segala amalan ibadah Beliau diterima oleh Allah SWT, dan segala kesalahannya diampuni oleh Allah SWT, serta T Arizona beserta seluruh keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan keikhlasan. Amin ya Rabbal Alamin.
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Doakanlah untuknya
yang telah membesarkanmu
walaupun wujudmu
menangisi kepergianya
Kusadari
semuanya tiada yang abadi
walaupun kita berdiri
di tepian waktu sekian hari
Dan hari ini
aku juga mendoakanmu
dan Ayahmu juga
Amin
2010
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 25 April 2010
Puisi ini kupersembahkan untuk berpulang ke rahmatullah, Ayahanda dari sahabatku T Arizona. Semoga segala amalan ibadah Beliau diterima oleh Allah SWT, dan segala kesalahannya diampuni oleh Allah SWT, serta T Arizona beserta seluruh keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan keikhlasan. Amin ya Rabbal Alamin.
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Puisi Jaga Malam
Karya: Deddy Firtana Iman
Malam dingin
aku melamun tentang kesepian kota
terhenti dengan neon perkampungan sudut
kota
apa ada gerangan menjerit duka
dengan berpura-pura mabuk di dekatku
melirikku dengan untaian lagu kesepian
Inilah kota juang
yang dibicarakan orang-orang dungu
tentang pejuang yang gagal
tanpa ada cacat sedikitpun
melarikan diri dari kepungan kematian.
Cahaya inilah buktinya,
terus-menerus melirik jawaban kebena-
ran,
tentang hilangya prajurit kami.
2009
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 18 April 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Malam dingin
aku melamun tentang kesepian kota
terhenti dengan neon perkampungan sudut
kota
apa ada gerangan menjerit duka
dengan berpura-pura mabuk di dekatku
melirikku dengan untaian lagu kesepian
Inilah kota juang
yang dibicarakan orang-orang dungu
tentang pejuang yang gagal
tanpa ada cacat sedikitpun
melarikan diri dari kepungan kematian.
Cahaya inilah buktinya,
terus-menerus melirik jawaban kebena-
ran,
tentang hilangya prajurit kami.
2009
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 18 April 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Air Mata Ibu
Karya: Deddy Firtana Iman
Ibu mengayuh tangan
menghajar batu kekal
di tepi gunung yang jurangya memikat
kematian
Pulang-pulang
tanganya berlumuran darah
baju basah kuyub
segoni batu-batu telah didapatnya
dengan perasaan yang galau
penuh tanda tanya yang mengherankan
“untuk apa kita hidup
hanya berbekal penipuan yang angkuh
sirna dihapus hujan
tidak abadi di hinggap matahari”
Kami semuanya terdiam
mendengar jerit hatinya
mulai mengeluarkan air batu
dari bola matanya yang resah
aku pikirkan jerit hatinya
tentu saja tapak tanganya
tiada berhenti untuk bekerja
memenuhi kebutuhan kami
hingga Ibu meninggal dirintih kesakitan
oleh hidup melarat kemiskinan
(2009)
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 11 April 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Ibu mengayuh tangan
menghajar batu kekal
di tepi gunung yang jurangya memikat
kematian
Pulang-pulang
tanganya berlumuran darah
baju basah kuyub
segoni batu-batu telah didapatnya
dengan perasaan yang galau
penuh tanda tanya yang mengherankan
“untuk apa kita hidup
hanya berbekal penipuan yang angkuh
sirna dihapus hujan
tidak abadi di hinggap matahari”
Kami semuanya terdiam
mendengar jerit hatinya
mulai mengeluarkan air batu
dari bola matanya yang resah
aku pikirkan jerit hatinya
tentu saja tapak tanganya
tiada berhenti untuk bekerja
memenuhi kebutuhan kami
hingga Ibu meninggal dirintih kesakitan
oleh hidup melarat kemiskinan
(2009)
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 11 April 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Isyarat Kematian
Karya: Deddy Firtana Iman
Usiaku
mulai meninggi
dusta nestapa melingkar leher
Ribuan keji munafik tercipta
agama terlupakan
Malaikat mulai mendekat
memperlihat senjata
wujudku membisu
Iblis dan setan-setan mulai tersenyum
Memiliki teman dikemudian harinya
Isyarat kematian untukku
Inilah
aku, lelaki pendusta itu
yang engkau cari
yang selama ini membunuhmu
Lihatlah aku
dan tataplah wajahku
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 04 April 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Usiaku
mulai meninggi
dusta nestapa melingkar leher
Ribuan keji munafik tercipta
agama terlupakan
Malaikat mulai mendekat
memperlihat senjata
wujudku membisu
Iblis dan setan-setan mulai tersenyum
Memiliki teman dikemudian harinya
Isyarat kematian untukku
Inilah
aku, lelaki pendusta itu
yang engkau cari
yang selama ini membunuhmu
Lihatlah aku
dan tataplah wajahku
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 04 April 2010
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Munajat Burung Merak
Karya: Deddy Firtana Iman
Siapa sangka
Tulisanya telah tertulis di batu nisan
Hingga tertidur dengan senyum
Hingga hujan pun membasahi kota kami
Mendengarkan kepergianya
Hilang sudah
Suaranya yang bergetar itu
Kepakan sayapnya yang megah itu
Warna yang merekah itu
Kembali kepadaNya
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Siapa sangka
Tulisanya telah tertulis di batu nisan
Hingga tertidur dengan senyum
Hingga hujan pun membasahi kota kami
Mendengarkan kepergianya
Hilang sudah
Suaranya yang bergetar itu
Kepakan sayapnya yang megah itu
Warna yang merekah itu
Kembali kepadaNya
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Munajat Natijah
Karya: Deddy Firtana Iman
Kebahagianku dariMu
Milikku adalah milikMu
Segalanya.
Kesabaranku belum dapat diukur
Dengan keimananku
Tunjukkanlah jalanMu
Semoga aku dapat menikmati buah Kurmamu
Ketika Ramadhan berkumandang Sahur
Terwujudlah kesabaran dan keimananku untukMu
Buah-buahan
Kenikmatan tiada tara
Setara atau pun tidak
Adalah milikMu
Munajat Natijah
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Kebahagianku dariMu
Milikku adalah milikMu
Segalanya.
Kesabaranku belum dapat diukur
Dengan keimananku
Tunjukkanlah jalanMu
Semoga aku dapat menikmati buah Kurmamu
Ketika Ramadhan berkumandang Sahur
Terwujudlah kesabaran dan keimananku untukMu
Buah-buahan
Kenikmatan tiada tara
Setara atau pun tidak
Adalah milikMu
Munajat Natijah
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Munajat Nyanyian
Karya: Deddy Firtana Iman
Penuh Doa-doa
Kebahagiaan itu hadir dipelukanku
Seperti senja menarik fajar
Kenikmatan apa lagi
Yang hadir dalam rebahan takdirku
Penuh sujud syukur
Kebahagiaan itu hadir kembali
Di hari esok yang kelabu
Nyanyian hati
Bahasa jiwa yang terpatri
Dari hari ke hari
Penuh kesabaran
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Penuh Doa-doa
Kebahagiaan itu hadir dipelukanku
Seperti senja menarik fajar
Kenikmatan apa lagi
Yang hadir dalam rebahan takdirku
Penuh sujud syukur
Kebahagiaan itu hadir kembali
Di hari esok yang kelabu
Nyanyian hati
Bahasa jiwa yang terpatri
Dari hari ke hari
Penuh kesabaran
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Munajat Kerinduan
Karya: Deddy Firtana Iman
Terbuka mataku
Cerahan cahaya menusuk
Membenarkan adanya diriMu
Lamunanku pun memanggil namaMu
Rindunya aku padaMu
Kebahagian dan kerinduanku
Tepat tertunduk bersujud
Siang dan Malam
Memberikan cahaya panggilanMu
MerindukanMu
Siang dan Malam
Tak terlupakan
Doa-doa memujamu
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Terbuka mataku
Cerahan cahaya menusuk
Membenarkan adanya diriMu
Lamunanku pun memanggil namaMu
Rindunya aku padaMu
Kebahagian dan kerinduanku
Tepat tertunduk bersujud
Siang dan Malam
Memberikan cahaya panggilanMu
MerindukanMu
Siang dan Malam
Tak terlupakan
Doa-doa memujamu
2009
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Hening
Karya: Deddy Firtana Iman
Aku akan hilang tanpa menyentuh tanah
Seperti angin berisi daging Manusia
Mempermainkan kekosongan waktu
Demi ujung tali terputus isyarat cintanya
Tanpa kata-kata penutup mata kebisingan
Itulah titik akhir waktu persinggahanku
Terbakar oleh ketidak pastian cuaca pagi
Mengantarkanku pada roh persinggahanku
Hingga membuatku menelusuri surga dunia
2009
Dimuat di Koran "Harian Aceh" Minggu, 26 Juli 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Aku akan hilang tanpa menyentuh tanah
Seperti angin berisi daging Manusia
Mempermainkan kekosongan waktu
Demi ujung tali terputus isyarat cintanya
Tanpa kata-kata penutup mata kebisingan
Itulah titik akhir waktu persinggahanku
Terbakar oleh ketidak pastian cuaca pagi
Mengantarkanku pada roh persinggahanku
Hingga membuatku menelusuri surga dunia
2009
Dimuat di Koran "Harian Aceh" Minggu, 26 Juli 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Katakan Percuma
Karya: Deddy Firtana Iman
Mari menari
Dengan iringan lagu
Atau musick lirik cinta
Hanya sebaris kata cinta
Dari malam
Sampai mata terbuka
Untuk melihatku tertawa
Katakan percuma
Dari relung hatimu
Ketika aku masih tersenyum
Untuk dilihat saja
Dari ucapanku
Kalau tak sanggup
Bernyanyi untukku
Katakan percuma
Sebagai ungkapan
Kesesalan darimu
Semoga aku mengerti
13/08/2008
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 08 Maret 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Mari menari
Dengan iringan lagu
Atau musick lirik cinta
Hanya sebaris kata cinta
Dari malam
Sampai mata terbuka
Untuk melihatku tertawa
Katakan percuma
Dari relung hatimu
Ketika aku masih tersenyum
Untuk dilihat saja
Dari ucapanku
Kalau tak sanggup
Bernyanyi untukku
Katakan percuma
Sebagai ungkapan
Kesesalan darimu
Semoga aku mengerti
13/08/2008
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 08 Maret 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Aku Sungguh Ada
Karya: Deddy Firtana Iman
Kau mungkin tak yakin
Kalau aku masih berjalan
Setelah berjalan berpetualangan
Sesudah mencarimu di pinggiran jalan
Aku sungguh ada
Aku serahkan tiada dua
Agar nanti bahagia
Asalkan kau tak kecewa
Kau mungkin tak yakin
Aku masih dibutuhkan
Dibutuhkan saling pengertian
Agar nantinya dapat merasakan kebahagiaan
13/08/2008
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 8 Maret 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Kau mungkin tak yakin
Kalau aku masih berjalan
Setelah berjalan berpetualangan
Sesudah mencarimu di pinggiran jalan
Aku sungguh ada
Aku serahkan tiada dua
Agar nanti bahagia
Asalkan kau tak kecewa
Kau mungkin tak yakin
Aku masih dibutuhkan
Dibutuhkan saling pengertian
Agar nantinya dapat merasakan kebahagiaan
13/08/2008
*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 8 Maret 2009
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Luka Kecilku
Karya: Deddy Firtana Iman
Waktuku berdosa di masa lalu
Tak mengenal arti Tuhan
Masa muda terabaikan
Peradaban luka kecilku
Kosong melompong pikiran batinku
Hanya ucapan terasa-rasa kalbu
Kamarku mulai berhantu
Tentang kisah para pengikut suku
Pisau di tangan pembunuh berdarah
Tak tersentuh pertaubatan
Matipun takut aku rasakan
Telah bersusah payah aku berbaik hati
Cuma rasa kasihan mati
Itupun sehari semalam
Impian luka yang tenggelam
20-07-2008
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 14 Desember 2008
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Waktuku berdosa di masa lalu
Tak mengenal arti Tuhan
Masa muda terabaikan
Peradaban luka kecilku
Kosong melompong pikiran batinku
Hanya ucapan terasa-rasa kalbu
Kamarku mulai berhantu
Tentang kisah para pengikut suku
Pisau di tangan pembunuh berdarah
Tak tersentuh pertaubatan
Matipun takut aku rasakan
Telah bersusah payah aku berbaik hati
Cuma rasa kasihan mati
Itupun sehari semalam
Impian luka yang tenggelam
20-07-2008
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 14 Desember 2008
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Air Danau
Karya: Deddy Firtana Iman
Luasan genangan alas
air dalam kolam
Setipis sulaman
Mengikat talam dalam
genangan daun
menyemakkan danau
melukiskan kuncupan daun
Air berarak kacau
Danau yang tersudutkan
oleh perantau
menangis pilu lupakan kehidupan
Terseret oleh arus yang kacau
Menepis cemaran air danau
2008
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 14 Desember 2008
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Luasan genangan alas
air dalam kolam
Setipis sulaman
Mengikat talam dalam
genangan daun
menyemakkan danau
melukiskan kuncupan daun
Air berarak kacau
Danau yang tersudutkan
oleh perantau
menangis pilu lupakan kehidupan
Terseret oleh arus yang kacau
Menepis cemaran air danau
2008
Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 14 Desember 2008
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Pelangi
Karya: Deddy Firtana Iman
Cahaya dari balik alam langit
Antara malam tinggal kenangan
Sebelum awan datang menyempit
Manusia bersyukur dengan kegirangan
Cahayanya penyejuk hati manusia
Berbisik lugu kepada awan
Unutk bumi cucurkan air hujan
Biarkan manusia yang menikmatinya
Bumi menunggu akan tibanya pelanggi
Bercahaya diatas bumi
Sambil tersenyum memberi arti
Senantiasa impikan sanubari
Tampa sebab akibat ia pergi
Terang benderang iapun selesai
Sambil pergi berbenah diri
Cahaya pelangipun mulai sepi
2008
Dimuat tanggal 19-10-2008
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Cahaya dari balik alam langit
Antara malam tinggal kenangan
Sebelum awan datang menyempit
Manusia bersyukur dengan kegirangan
Cahayanya penyejuk hati manusia
Berbisik lugu kepada awan
Unutk bumi cucurkan air hujan
Biarkan manusia yang menikmatinya
Bumi menunggu akan tibanya pelanggi
Bercahaya diatas bumi
Sambil tersenyum memberi arti
Senantiasa impikan sanubari
Tampa sebab akibat ia pergi
Terang benderang iapun selesai
Sambil pergi berbenah diri
Cahaya pelangipun mulai sepi
2008
Dimuat tanggal 19-10-2008
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Pensil Kayu
Karya: Deddy Firtana Iman
Pensil kayu
Ketika aku merayu
Hanya ragu pada engkau
Tertulis sebuah laguKisah sejati rindu
Laku terjual goresan batinku
2008
Dimuat tanggal 19-10-2008
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Pensil kayu
Ketika aku merayu
Hanya ragu pada engkau
Tertulis sebuah laguKisah sejati rindu
Laku terjual goresan batinku
2008
Dimuat tanggal 19-10-2008
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Putri Malu
Karya: Deddy Firtana Iman
Pipit berduri katanya mau
Puput sendir bertanya mau
Nunut berdiri siapanya tahu
Ninit berlari sampainya dihari minggu
Utari merayu beraninya begitu
Utami berbaju merahnya merah jambu
Dela maju dirayunya aku
Dila penipu kenanya pacarmu
Prettyca sayu matanya layu
Prettyca mau dirinya begitu
Prettyca jemu akunya merayu
Prettyca rindu akunya tahu
2008
Dimuat tanggal 19-10-2008
Karya: Deddy Firtana Iman
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Pipit berduri katanya mau
Puput sendir bertanya mau
Nunut berdiri siapanya tahu
Ninit berlari sampainya dihari minggu
Utari merayu beraninya begitu
Utami berbaju merahnya merah jambu
Dela maju dirayunya aku
Dila penipu kenanya pacarmu
Prettyca sayu matanya layu
Prettyca mau dirinya begitu
Prettyca jemu akunya merayu
Prettyca rindu akunya tahu
2008
Dimuat tanggal 19-10-2008
Karya: Deddy Firtana Iman
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Dia Telah Pergi
Karya: Deddy Firtana Iman
Kubuka mata gelap gulita
Menagis sendu tiada rasa
Tiada kembang bunga disini
Pergi jauh di sudut kaki
Melunglai badan bergerak lemah
Memangil gadis sekuat amarah
Akankah dia mendengar suara ini
Telah jauh melangkah berlari
Pergilah jauh tinggalkan akuTanpa duka aku menanti
Uluran tanggan kata hati
Seucab janji tak akan laku
2008
Dimuat tanggal 02-08-2008
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Kubuka mata gelap gulita
Menagis sendu tiada rasa
Tiada kembang bunga disini
Pergi jauh di sudut kaki
Melunglai badan bergerak lemah
Memangil gadis sekuat amarah
Akankah dia mendengar suara ini
Telah jauh melangkah berlari
Pergilah jauh tinggalkan akuTanpa duka aku menanti
Uluran tanggan kata hati
Seucab janji tak akan laku
2008
Dimuat tanggal 02-08-2008
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Hembusan Angin
Karya:Deddy Firtana Iman
Angin bertiup gemulai,tampak dedaunan berterbangan.
Sedih melihat petir berteriak di langit yang tidak memperdulikan alat pendengaranku
Sesaat kemudian,badanku merasakan kedinginan
Menit-menit kemudian,badanku mulai mengigil
Dingin
Takut beku
Takut sakit
Menggapa kejadian ini yang terjadi padaku
Hanya di sore ini,yang membuat badanku membeku
Badanku lemah membeku oleh hembusan angin
2008
Dimuat di Harian Aceh,hari Sabtu tanggal 12-07-2008.
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Angin bertiup gemulai,tampak dedaunan berterbangan.
Sedih melihat petir berteriak di langit yang tidak memperdulikan alat pendengaranku
Sesaat kemudian,badanku merasakan kedinginan
Menit-menit kemudian,badanku mulai mengigil
Dingin
Takut beku
Takut sakit
Menggapa kejadian ini yang terjadi padaku
Hanya di sore ini,yang membuat badanku membeku
Badanku lemah membeku oleh hembusan angin
2008
Dimuat di Harian Aceh,hari Sabtu tanggal 12-07-2008.
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Setengah Jiwa
Karya: Deddy Firtana Iman
Tiupkan udara dalam mulutku
Berdiri tegang di hadapanku
Aku bersimpu untuk berdiri
Terasa dingin untuk sendiri
Wajah kertas kuning tercipta
Sebatang korek api menyala-nyala
Tertiup lilin aku mati rasa
Jangan bersedih aku mati rasa
Goncangan jiwa antara kita
Terguncang tertinpa dirimu
Aku menjerit setengah jiwa
Lamunan impian penyejuk mata
Akan terasa dekat denganmu
2008
dimuat di Harian Aceh,hari Sabtu tanggal 12-07-2008.
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Tiupkan udara dalam mulutku
Berdiri tegang di hadapanku
Aku bersimpu untuk berdiri
Terasa dingin untuk sendiri
Wajah kertas kuning tercipta
Sebatang korek api menyala-nyala
Tertiup lilin aku mati rasa
Jangan bersedih aku mati rasa
Goncangan jiwa antara kita
Terguncang tertinpa dirimu
Aku menjerit setengah jiwa
Lamunan impian penyejuk mata
Akan terasa dekat denganmu
2008
dimuat di Harian Aceh,hari Sabtu tanggal 12-07-2008.
Sumber:
Deddy Firtana Iman
Sabtu, 07 Mei 2011
Membaca Tabir Kalbu Mahasiswa Kontemporer
(Catatan Kecil untuk Puisi Parade Tiga Kampus)
Oleh Herman RN
GULITA YANG BERGANTI
Muhammad Haekal
Dan semua tanpa warna…
Semu malam gulita…
Bersemilir angin tak berkala…
Aku mewajah gerah…
Tanpa usang semua terbang…
Dengan debu melekat hampa…
Kutawar berada pagi…
Yang biasa bermatahari tanpa bintang abadi…
Dan semua memberkas kilaunya…
Petang yang datang…hilang…
Kesempurnaan awan yang menghujan…
Malam yang mengembun…menantang…
Tanpa selimut aku duduk di haluan…
Berteman angin meyakin Tuhan…
Dan semua sejalan berpaling…
Tak mampu kulupakan dengan sekepul asap…
Tak mampu hilang dengan secangkir panas hitam…
Dan kusapa jenuh sang bulan pagi…
Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…
Sang cahaya yang terkadang menepi namun memberi…
Berkias alam menebar wangi…
Tempat ombak biru yang tak pernah kudaki…
Ruang kenyataan tanpa palung hati…
Sebuah hiasan terbaik yang kumiliki di semua dimensi hari…
(19 november 2008)
MAHASISWA?
Muhammad Haekal
Hanya itukah ilmu mu?
Belajar untuk melempar batu…
Di tengah jembatan kau adu uratmu…
Sesama saudara membunuh tanpa malu…
Hanya itukah ilmu mu?
Meneriakkan kata setia dengan jiwa…
Namun melepasnya dalam sekejap mata…
Dan lihatlah pendahulumu di ’98…
Mereka berdarah….berkorban…
Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…
Dan lihat dirimu…
Yang darahnya tertumpah sia-sia..
Tanpa guna suatu apa..hanya derita dan jerit tanpa nyawa…
Hai kau di sana!!!!!
Masihkah kau mengaku mahasiswa?!
(25 November 2008)
*refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini
SEBUAH PINTA
Nurhikmah
Maaf
Bila kalimatku
Bila sikapku
Bila candaku
Telah mengotori taman hatimu
Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya
Taman yang diagungkan orang keperawanannya
Namun kini…
Seakan ku tak percaya
Sebab aku ia ternoda?
Maaf
Aku akan pergi saja
Agar kau lupa
Agar tamanmu kembali seperti sediakala
(Taman hatiku. Minggu/ 19 oktober 08)
LELAH
Nurhikmah
Pada siapa harus kumengadu
Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku
Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan
Menambah gelapnya sisi hidupku
Aku lelah
Ingin rasanya aku menghilang
Jauh dari smua makhluk Tuhan
Kehampaaan menjadi teman
Ketakutan jadi hiasan
Aku berada disimpang jalan
Tak tahu kemana harus menyebrang
Mencari mutiara yang telah hilang
Aku hilang
Terbang melayang
Terhenti
Ditempat yang tak kukenali
Dan mutiaraku tak kutemui.
(Alam maya/ November 2008)
AIR DANAU
Deddy Firtana Iman
Luasan genangan alas
air dalam kolam
Setipis sulaman
Mengikat talam dalam
genangan daun
menyemakkan danau
melukiskan kuncupan daun
Air berarak kacau
Danau yang tersudutkan
oleh perantau
menangis pilu lupakan kehidupan
Terseret oleh arus yang kacau
Menepis cemaran air danau
(2008)
LUKA KECILKU
Deddy Firtana Iman
Waktuku berdosa di masa lalu
Tak mengenal arti Tuhan
Masa muda terabaikan
Peradaban luka kecilku
Kosong melompong pikiran batinku
Hanya ucapan terasa-rasa kalbu
Kamarku mulai berhantu
Tentang kisah para pengikut suku
Pisau di tangan pembunuh berdarah
Tak tersentuh pertaubatan
Matipun takut aku rasakan
Telah bersusah payah aku berbaik hati
Cuma rasa kasihan mati
Itupun sehari semalam
Impian luka yang tenggelam
20-07-2008
Muhammad Haekal, mahasiswa IAIN Ar-Raniry
Nurhikmah, mahasiswa Almuslim Peusangan
Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah
Puisi sebagai sebuah karya sastra yang “merdeka”, yang lahir dari proses kontemplasi mendalam bukanlah milik penyair sudah jadi semata. Akan tetapi, orang yang sudah berhasil menulis puisi dan produktif di wilayah kerjanya (menulis puisi) akan disebut sebagai penyair adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaannya, bagaimanakah bila yang melakoni itu mahasiswa?
Sejatinya, banyak penyair Tanah Air di era kontemporer tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi—baik negeri maupun swasta. Di warkah ini, saya tak mesti menyebutnya satu per satu. Namun, dapat diamati dari berbagai lomba cipta puisi yang diadakan di berbagai daerah, peserta yang ikut kebanyakan dari mahasiwa. Bahkan, ada pula yang memang namanya “Lomba Cipta Puisi Tingkat Mahasiswa”. Lantas, saat mahasiswa tersebut berhasil meraih penghargaan, sebagian kecil mulai menggerayangi kerja penciptaan puisi sehingga ia pun diakui sebagai penyair, bolehkah?
Sulit memang mencari identitas kepenyairan dalam diri seseorang: apakah karena ia telah berhasil menulis sebuah puisi dan menang dalam sebuah lomba akan dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang tidak menang lomba tetapi puisinya dimuat di salah satu media (koran) baru disebut sebagai penyair; atau mereka yang tak pernah menang lomba dan tak pernah dimuat di media, tetapi puisinya sudah pernah dibukukan dalam antologi bersama penyair lain yang boleh dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang puisinya tidak pernah menang lomba, tidak pernah dimuat media, tidak pernah dibukukan dalam antologi bersama, melainkan menerbitkan dalam buku sendiri, yang disebut sebagai penyair; atau mereka yang hanya menulis puisi pada buku catatan hariannya, tidak pernah dikirim ke media, tidak pernah diikutkan lomba, tidak pernah dibukukan, disebut sebagai penyair? Sulit mencari standardisasi ini, sebab predikat kepenyairan bukan diperoleh dari jenjang akademik, meskipun yang seorang penulis puisi ada yang sudah tiga kali menyandang gelar mahasiswa (sarjana, pascasarjana, dan doktoral). Gelar kepenyairan hanya dapat diperoleh dari pengakuan orang banyak, tentunya setelah si penulis puisi tersebut memang mampu menghasilkan karya untuk ortodoks dan dilakukan secara produktif.
Lantas, salahkah mereka—beberapa mahasiswa—yang mencoba-coba menulis puisi lalu mengirimkannya ke media? Dan bagaimanakah karya yang mereka kirimkan tersebut? Berikut ini saya coba mengamati karya-karya mahasiwa tersebut. Karena keterbatasan ruang, puisi yang saya amati tidak mungkin semua mahasiswa. Saya hanya mencoba mengamati puisi milik tiga mahasiswa yang berasal dari tiga perguruan tinggi, yang puisi-puisi mereka dimuat di Harian Aceh (lihat Parade Puisi Tiga Kampus).
Mendengar nama mahasiswa, saya kira sejumlah orang akan membayangkan kata-kata “tawuran, demonstrasi, belajar, dosen, kuliah, sarjana, cita-cita, kos, susah hidup, cobaan, dan kisah cinta.” Asumsi sederhana ini tidak salah. Lantas, apakah semua kata-kata itu akan tumpah dalam bentuk puisi?
Kita mulai saja dengan puisi milik Muhammad Haekal. Judul puisi “Gulita yang Beganti” sudah jelas memperlihatkan tentang keresahan seseorang—dalam hal ini sebut saja si penulis puisi tersebut. Betapa kata “gulita” digambarkan sebagai cobaan pahit dan gamang, semakin terdeteksi pada bait pertama yang memakai frasa: semua tanpa warna, semu malam gulita, semilir angin tak ada, wajah gerah, semua terbang, melekat hampa, dan matahari tanpa bintang abadi.
Di sini kelihatan bahwa mahasiswa IAIN Ar-Raniry tersebut sedang gundah dan resah menghadapi cobaan dalam hidupnya. Perjalanan waktu yang penuh cobaan dan tantangan—apalagi sebagai mahasiswa—dipertegas dalam bait kedua: semua memberkas kilaunya…/Petang yang datang… hilang…/ Kesempurnaan awan yang menghujan…/Malam yang mengembun…menantang…/Tanpa selimut aku duduk di haluan…//.
Akan tetapi, meskipun gundah itu tergambar dalam, Haekal mencoba untuk tegar sehingga memunculkan sebuah keyakinan tentang adanya Tuhan dalam semesta cobaan. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat: Berteman angin meyakin Tuhan… Sayangnya, penulis puisi ini terjebak pada kalimat penyesalan, padahal ia sudah berusaha tegar dalam godaan. Hal ini terlihat dalam barisan kalimat: Dan kusapa jenuh sang bulan pagi/ Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…/.
Selanjutnya, pada puisi kedua, kerasahan Haekal mulai muncrat ke permukaan. Jika tadi resah itu ia simpan dalam bentuk gundah dalam hati, pada puisi “Mahasiswa?” ia mulai keluar sehingga acap menggunakan kalimat tanya: hanya itukah ilmumu? (kalimat ini sempat terjadi repetisi) dan masihkah kau mengaku mahasiswa?
Dapat dimaknai bahwa keresahan dalam puisi “Mahasiswa?” lebih kepada apa yang diamati oleh si penulis puisi. Ia gundah dengan apa yang dilakoni dan dihasilkan oleh mahasiswa sekarang. Menurut Haekal, kerja mahasiswa sekarang lebih kepada tawuran yang tak ada arti, yang tak ada hasil. Ia mengejeknya dengan “ilmu mahasiswa sebatas belajar melempar batu, saling teriak di jembatan, saling adu mulut sesama mahasiswa.” Sedangkah mahasiswa pada tahun ’98, menurut Haekal, tidak sekedar berteriak di tengah jembatan, tetapi juga dapat melengserkan jabatan dengan peluh dan darah yang siap dikorbankan. Dan lihatlah pendahulumu di ’98…/Mereka berdarah….berkorban…/Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…/
Bahwa puisi tersebut sebagai petuah kepada para mahasiswa yang sekarang suka tawuran sesama tanpa membuahkan hasil apa-apa dipertegas Haekal melalui catatan kaki: refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini. Satu hal mungkin dapat dipertanyakan dalam puisi-puisi Haekal adalah mengapa setiap barisnya harus diakhiri dengan tanda elips (titik-titik)?
Membongkar Hati Hikmah
Berbeda dengan Haekal, dua puisi Nurhikmah (selanjutnya disapa Hikmah) yang terpilih dalam “Parade Puisi” di Harian Aceh ini lebih kepada perasaan, naluri, dan hati yang bergejolak atas nama cinta. Boleh dikatakan puisi yang pertama adalah keresahan dan penyesalan karena telah membuat seseorang mencintai (dalam hal ini sebut saja mencintai si penulis puisi). Penyesalan itu jelas terlihat dalam diksi pertama dipakai kata “maaf”. Dan penyesalan tersebut semakin nyata pada bait kedua saat mahasiswa Almuslim Peusangan ini berujar: //Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya/Taman yang diagungkan orang keperawanannya/Namun kini…/Seakan ku tak percaya/Sebab aku ia ternoda?//.
Jika pada puisi tersebut mengungkapkan penyesalan telah ‘memasuki’ hati seseorang, puisi kedua, “Lelah”, menunjukkan keresahan hati si penulis puisi sendiri yang telah ‘dimasuki’ seseorang. Puisi “Lelah” seakan menjadi soal atau jawaban dari puisi pertama yang berjudul “Sebuah Pinta”. Hal ini terlihat sejak bait pertama: //Pada siapa harus kumengadu/Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku/Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan/Menambah gelapnya sisi hidupku/Aku lelah/Ingin rasanya aku menghilang/Jauh dari smua makhluk Tuhan/…
Ada pula kebimbangan dalam pusi ini: Kehampaaan menjadi teman/Ketakutan jadi hiasan/Aku berada disimpang jalan/Tak tahu kemana harus menyebrang/… Kebimbangan tersebut ternyata untuk mencari mutiara yang hilang//.
Jelaslah, kata kunci “mutiara” dapat menjadi perlambang cinta. Hal ini berdasarkan keseringan yang kita dengar bahwa ‘mencuri’ mutiara dari hati seseorang berarti sama dengan ‘mencuri’ cinta dan kasih sayangnya. Siapakah orangnya? Hanya Nurhikmah yang tahu, karena puisi sangat ambigu untuk menebak sebuah kepastian murni.
Penyesalan Deddy
Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah, yang puisinya juga terpilih dalam episode “Parade Puisi” di Harian Aceh kali ini juga berkisah tentang keresahan. Namun, keresahan Deddy berbeda dengan resah Haekal tentang amatan masa sekarang dan resah Hikmah tentang ‘mutiaranya’ yang dicuri. Keresahan Deddy lebih kepada sebentuk penyesalan masa silam.
Hal ini dinukilkannya dalam kedua puisinya. Puisi pertama “Air Danau” berkisah tentang penyesalah hidup di perantauan yang mungkin takkan kacau-balau jika ia tak merantau. //Air berarak kacau/Danau yang tersudutkan/oleh perantau/menangis pilu lupakan kehidupan//.
Penyesalan mengapa si penulis puisi harus meninggalkan masa lalunya dan pergi merantau dipertegas bait penutup puisi tersebut. //Terseret oleh arus yang kacau/Menepis cemaran air danau//.
Pada puisi kedua, “Luka Kecilku”, Deddy langsung membuka sajaknya dengan ungkapan penyesalan masa lalu. //Waktuku berdosa di masa lalu/Tak mengenal arti Tuhan/Masa muda terabaikan /Peradaban luka kecilku//.
Penyesalan masa kecil itu ternyata karena ia harus percaya pada seorang pemimpin yang kemudian diketahui oleh si penulis puisi ini pemimpin itu bukanlah Tuhan pembawa kebenaran. Namun, kisah tentang itu semakin melekat dalam benaknya yang dilambangkan dengan kata: Kamarku mulai berhantu/ tentang kisah para pengikut suku//.
Membaca Zaman
Mengamati puisi-puisi yang ditulis oleh mahasiswa itu mengesankan bahwa dengan puisi mereka telah membaca perubahan zaman. Kendati masih ada galau yang disampaikan hanya berdasarkan dan untuk hati sendiri, sejatinya sebuah puisi telah dapat mewakilkan sebuah asa dan rasa: asa terhadap sebuah mimpi mengejar masa depan, baik atas nama pribadi maupun atas nama bangsa; serta rasa ingin mendapatkan kedaiaman. Inilah realisme mahasiswa kontemporer—mahasiswa yang hidup di zaman serba kacau-balau ini. Mereka lupa berkisah bagaimana ruang kuliah, seperti apa dosen mengajar, atau dari mana memperoleh uang jajan, tetapi mereka mulai berkisah tentang kondisi carut-marut zaman.
Herman RN adalah alumni Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah
Sumber:
Herman RN
Oleh Herman RN
GULITA YANG BERGANTI
Muhammad Haekal
Dan semua tanpa warna…
Semu malam gulita…
Bersemilir angin tak berkala…
Aku mewajah gerah…
Tanpa usang semua terbang…
Dengan debu melekat hampa…
Kutawar berada pagi…
Yang biasa bermatahari tanpa bintang abadi…
Dan semua memberkas kilaunya…
Petang yang datang…hilang…
Kesempurnaan awan yang menghujan…
Malam yang mengembun…menantang…
Tanpa selimut aku duduk di haluan…
Berteman angin meyakin Tuhan…
Dan semua sejalan berpaling…
Tak mampu kulupakan dengan sekepul asap…
Tak mampu hilang dengan secangkir panas hitam…
Dan kusapa jenuh sang bulan pagi…
Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…
Sang cahaya yang terkadang menepi namun memberi…
Berkias alam menebar wangi…
Tempat ombak biru yang tak pernah kudaki…
Ruang kenyataan tanpa palung hati…
Sebuah hiasan terbaik yang kumiliki di semua dimensi hari…
(19 november 2008)
MAHASISWA?
Muhammad Haekal
Hanya itukah ilmu mu?
Belajar untuk melempar batu…
Di tengah jembatan kau adu uratmu…
Sesama saudara membunuh tanpa malu…
Hanya itukah ilmu mu?
Meneriakkan kata setia dengan jiwa…
Namun melepasnya dalam sekejap mata…
Dan lihatlah pendahulumu di ’98…
Mereka berdarah….berkorban…
Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…
Dan lihat dirimu…
Yang darahnya tertumpah sia-sia..
Tanpa guna suatu apa..hanya derita dan jerit tanpa nyawa…
Hai kau di sana!!!!!
Masihkah kau mengaku mahasiswa?!
(25 November 2008)
*refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini
SEBUAH PINTA
Nurhikmah
Maaf
Bila kalimatku
Bila sikapku
Bila candaku
Telah mengotori taman hatimu
Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya
Taman yang diagungkan orang keperawanannya
Namun kini…
Seakan ku tak percaya
Sebab aku ia ternoda?
Maaf
Aku akan pergi saja
Agar kau lupa
Agar tamanmu kembali seperti sediakala
(Taman hatiku. Minggu/ 19 oktober 08)
LELAH
Nurhikmah
Pada siapa harus kumengadu
Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku
Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan
Menambah gelapnya sisi hidupku
Aku lelah
Ingin rasanya aku menghilang
Jauh dari smua makhluk Tuhan
Kehampaaan menjadi teman
Ketakutan jadi hiasan
Aku berada disimpang jalan
Tak tahu kemana harus menyebrang
Mencari mutiara yang telah hilang
Aku hilang
Terbang melayang
Terhenti
Ditempat yang tak kukenali
Dan mutiaraku tak kutemui.
(Alam maya/ November 2008)
AIR DANAU
Deddy Firtana Iman
Luasan genangan alas
air dalam kolam
Setipis sulaman
Mengikat talam dalam
genangan daun
menyemakkan danau
melukiskan kuncupan daun
Air berarak kacau
Danau yang tersudutkan
oleh perantau
menangis pilu lupakan kehidupan
Terseret oleh arus yang kacau
Menepis cemaran air danau
(2008)
LUKA KECILKU
Deddy Firtana Iman
Waktuku berdosa di masa lalu
Tak mengenal arti Tuhan
Masa muda terabaikan
Peradaban luka kecilku
Kosong melompong pikiran batinku
Hanya ucapan terasa-rasa kalbu
Kamarku mulai berhantu
Tentang kisah para pengikut suku
Pisau di tangan pembunuh berdarah
Tak tersentuh pertaubatan
Matipun takut aku rasakan
Telah bersusah payah aku berbaik hati
Cuma rasa kasihan mati
Itupun sehari semalam
Impian luka yang tenggelam
20-07-2008
Muhammad Haekal, mahasiswa IAIN Ar-Raniry
Nurhikmah, mahasiswa Almuslim Peusangan
Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah
Puisi sebagai sebuah karya sastra yang “merdeka”, yang lahir dari proses kontemplasi mendalam bukanlah milik penyair sudah jadi semata. Akan tetapi, orang yang sudah berhasil menulis puisi dan produktif di wilayah kerjanya (menulis puisi) akan disebut sebagai penyair adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaannya, bagaimanakah bila yang melakoni itu mahasiswa?
Sejatinya, banyak penyair Tanah Air di era kontemporer tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi—baik negeri maupun swasta. Di warkah ini, saya tak mesti menyebutnya satu per satu. Namun, dapat diamati dari berbagai lomba cipta puisi yang diadakan di berbagai daerah, peserta yang ikut kebanyakan dari mahasiwa. Bahkan, ada pula yang memang namanya “Lomba Cipta Puisi Tingkat Mahasiswa”. Lantas, saat mahasiswa tersebut berhasil meraih penghargaan, sebagian kecil mulai menggerayangi kerja penciptaan puisi sehingga ia pun diakui sebagai penyair, bolehkah?
Sulit memang mencari identitas kepenyairan dalam diri seseorang: apakah karena ia telah berhasil menulis sebuah puisi dan menang dalam sebuah lomba akan dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang tidak menang lomba tetapi puisinya dimuat di salah satu media (koran) baru disebut sebagai penyair; atau mereka yang tak pernah menang lomba dan tak pernah dimuat di media, tetapi puisinya sudah pernah dibukukan dalam antologi bersama penyair lain yang boleh dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang puisinya tidak pernah menang lomba, tidak pernah dimuat media, tidak pernah dibukukan dalam antologi bersama, melainkan menerbitkan dalam buku sendiri, yang disebut sebagai penyair; atau mereka yang hanya menulis puisi pada buku catatan hariannya, tidak pernah dikirim ke media, tidak pernah diikutkan lomba, tidak pernah dibukukan, disebut sebagai penyair? Sulit mencari standardisasi ini, sebab predikat kepenyairan bukan diperoleh dari jenjang akademik, meskipun yang seorang penulis puisi ada yang sudah tiga kali menyandang gelar mahasiswa (sarjana, pascasarjana, dan doktoral). Gelar kepenyairan hanya dapat diperoleh dari pengakuan orang banyak, tentunya setelah si penulis puisi tersebut memang mampu menghasilkan karya untuk ortodoks dan dilakukan secara produktif.
Lantas, salahkah mereka—beberapa mahasiswa—yang mencoba-coba menulis puisi lalu mengirimkannya ke media? Dan bagaimanakah karya yang mereka kirimkan tersebut? Berikut ini saya coba mengamati karya-karya mahasiwa tersebut. Karena keterbatasan ruang, puisi yang saya amati tidak mungkin semua mahasiswa. Saya hanya mencoba mengamati puisi milik tiga mahasiswa yang berasal dari tiga perguruan tinggi, yang puisi-puisi mereka dimuat di Harian Aceh (lihat Parade Puisi Tiga Kampus).
Mendengar nama mahasiswa, saya kira sejumlah orang akan membayangkan kata-kata “tawuran, demonstrasi, belajar, dosen, kuliah, sarjana, cita-cita, kos, susah hidup, cobaan, dan kisah cinta.” Asumsi sederhana ini tidak salah. Lantas, apakah semua kata-kata itu akan tumpah dalam bentuk puisi?
Kita mulai saja dengan puisi milik Muhammad Haekal. Judul puisi “Gulita yang Beganti” sudah jelas memperlihatkan tentang keresahan seseorang—dalam hal ini sebut saja si penulis puisi tersebut. Betapa kata “gulita” digambarkan sebagai cobaan pahit dan gamang, semakin terdeteksi pada bait pertama yang memakai frasa: semua tanpa warna, semu malam gulita, semilir angin tak ada, wajah gerah, semua terbang, melekat hampa, dan matahari tanpa bintang abadi.
Di sini kelihatan bahwa mahasiswa IAIN Ar-Raniry tersebut sedang gundah dan resah menghadapi cobaan dalam hidupnya. Perjalanan waktu yang penuh cobaan dan tantangan—apalagi sebagai mahasiswa—dipertegas dalam bait kedua: semua memberkas kilaunya…/Petang yang datang… hilang…/ Kesempurnaan awan yang menghujan…/Malam yang mengembun…menantang…/Tanpa selimut aku duduk di haluan…//.
Akan tetapi, meskipun gundah itu tergambar dalam, Haekal mencoba untuk tegar sehingga memunculkan sebuah keyakinan tentang adanya Tuhan dalam semesta cobaan. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat: Berteman angin meyakin Tuhan… Sayangnya, penulis puisi ini terjebak pada kalimat penyesalan, padahal ia sudah berusaha tegar dalam godaan. Hal ini terlihat dalam barisan kalimat: Dan kusapa jenuh sang bulan pagi/ Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…/.
Selanjutnya, pada puisi kedua, kerasahan Haekal mulai muncrat ke permukaan. Jika tadi resah itu ia simpan dalam bentuk gundah dalam hati, pada puisi “Mahasiswa?” ia mulai keluar sehingga acap menggunakan kalimat tanya: hanya itukah ilmumu? (kalimat ini sempat terjadi repetisi) dan masihkah kau mengaku mahasiswa?
Dapat dimaknai bahwa keresahan dalam puisi “Mahasiswa?” lebih kepada apa yang diamati oleh si penulis puisi. Ia gundah dengan apa yang dilakoni dan dihasilkan oleh mahasiswa sekarang. Menurut Haekal, kerja mahasiswa sekarang lebih kepada tawuran yang tak ada arti, yang tak ada hasil. Ia mengejeknya dengan “ilmu mahasiswa sebatas belajar melempar batu, saling teriak di jembatan, saling adu mulut sesama mahasiswa.” Sedangkah mahasiswa pada tahun ’98, menurut Haekal, tidak sekedar berteriak di tengah jembatan, tetapi juga dapat melengserkan jabatan dengan peluh dan darah yang siap dikorbankan. Dan lihatlah pendahulumu di ’98…/Mereka berdarah….berkorban…/Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…/
Bahwa puisi tersebut sebagai petuah kepada para mahasiswa yang sekarang suka tawuran sesama tanpa membuahkan hasil apa-apa dipertegas Haekal melalui catatan kaki: refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini. Satu hal mungkin dapat dipertanyakan dalam puisi-puisi Haekal adalah mengapa setiap barisnya harus diakhiri dengan tanda elips (titik-titik)?
Membongkar Hati Hikmah
Berbeda dengan Haekal, dua puisi Nurhikmah (selanjutnya disapa Hikmah) yang terpilih dalam “Parade Puisi” di Harian Aceh ini lebih kepada perasaan, naluri, dan hati yang bergejolak atas nama cinta. Boleh dikatakan puisi yang pertama adalah keresahan dan penyesalan karena telah membuat seseorang mencintai (dalam hal ini sebut saja mencintai si penulis puisi). Penyesalan itu jelas terlihat dalam diksi pertama dipakai kata “maaf”. Dan penyesalan tersebut semakin nyata pada bait kedua saat mahasiswa Almuslim Peusangan ini berujar: //Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya/Taman yang diagungkan orang keperawanannya/Namun kini…/Seakan ku tak percaya/Sebab aku ia ternoda?//.
Jika pada puisi tersebut mengungkapkan penyesalan telah ‘memasuki’ hati seseorang, puisi kedua, “Lelah”, menunjukkan keresahan hati si penulis puisi sendiri yang telah ‘dimasuki’ seseorang. Puisi “Lelah” seakan menjadi soal atau jawaban dari puisi pertama yang berjudul “Sebuah Pinta”. Hal ini terlihat sejak bait pertama: //Pada siapa harus kumengadu/Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku/Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan/Menambah gelapnya sisi hidupku/Aku lelah/Ingin rasanya aku menghilang/Jauh dari smua makhluk Tuhan/…
Ada pula kebimbangan dalam pusi ini: Kehampaaan menjadi teman/Ketakutan jadi hiasan/Aku berada disimpang jalan/Tak tahu kemana harus menyebrang/… Kebimbangan tersebut ternyata untuk mencari mutiara yang hilang//.
Jelaslah, kata kunci “mutiara” dapat menjadi perlambang cinta. Hal ini berdasarkan keseringan yang kita dengar bahwa ‘mencuri’ mutiara dari hati seseorang berarti sama dengan ‘mencuri’ cinta dan kasih sayangnya. Siapakah orangnya? Hanya Nurhikmah yang tahu, karena puisi sangat ambigu untuk menebak sebuah kepastian murni.
Penyesalan Deddy
Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah, yang puisinya juga terpilih dalam episode “Parade Puisi” di Harian Aceh kali ini juga berkisah tentang keresahan. Namun, keresahan Deddy berbeda dengan resah Haekal tentang amatan masa sekarang dan resah Hikmah tentang ‘mutiaranya’ yang dicuri. Keresahan Deddy lebih kepada sebentuk penyesalan masa silam.
Hal ini dinukilkannya dalam kedua puisinya. Puisi pertama “Air Danau” berkisah tentang penyesalah hidup di perantauan yang mungkin takkan kacau-balau jika ia tak merantau. //Air berarak kacau/Danau yang tersudutkan/oleh perantau/menangis pilu lupakan kehidupan//.
Penyesalan mengapa si penulis puisi harus meninggalkan masa lalunya dan pergi merantau dipertegas bait penutup puisi tersebut. //Terseret oleh arus yang kacau/Menepis cemaran air danau//.
Pada puisi kedua, “Luka Kecilku”, Deddy langsung membuka sajaknya dengan ungkapan penyesalan masa lalu. //Waktuku berdosa di masa lalu/Tak mengenal arti Tuhan/Masa muda terabaikan /Peradaban luka kecilku//.
Penyesalan masa kecil itu ternyata karena ia harus percaya pada seorang pemimpin yang kemudian diketahui oleh si penulis puisi ini pemimpin itu bukanlah Tuhan pembawa kebenaran. Namun, kisah tentang itu semakin melekat dalam benaknya yang dilambangkan dengan kata: Kamarku mulai berhantu/ tentang kisah para pengikut suku//.
Membaca Zaman
Mengamati puisi-puisi yang ditulis oleh mahasiswa itu mengesankan bahwa dengan puisi mereka telah membaca perubahan zaman. Kendati masih ada galau yang disampaikan hanya berdasarkan dan untuk hati sendiri, sejatinya sebuah puisi telah dapat mewakilkan sebuah asa dan rasa: asa terhadap sebuah mimpi mengejar masa depan, baik atas nama pribadi maupun atas nama bangsa; serta rasa ingin mendapatkan kedaiaman. Inilah realisme mahasiswa kontemporer—mahasiswa yang hidup di zaman serba kacau-balau ini. Mereka lupa berkisah bagaimana ruang kuliah, seperti apa dosen mengajar, atau dari mana memperoleh uang jajan, tetapi mereka mulai berkisah tentang kondisi carut-marut zaman.
Herman RN adalah alumni Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah
Sumber:
Herman RN
Parade Puisi Mahasiswa
GULITA YANG BERGANTI
Muhammad Haekal
Dan semua tanpa warna…
Semu malam gulita…
Bersemilir angin tak berkala…
Aku mewajah gerah…
Tanpa usang semua terbang…
Dengan debu melekat hampa…
Kutawar berada pagi…
Yang biasa bermatahari tanpa bintang abadi…
Dan semua memberkas kilaunya…
Petang yang datang…hilang…
Kesempurnaan awan yang menghujan…
Malam yang mengembun…menantang…
Tanpa selimut aku duduk di haluan…
Berteman angin meyakin Tuhan…
Dan semua sejalan berpaling…
Tak mampu kulupakan dengan sekepul asap…
Tak mampu hilang dengan secangkir panas hitam…
Dan kusapa jenuh sang bulan pagi…
Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…
Sang cahaya yang terkadang menepi namun memberi…
Berkias alam menebar wangi…
Tempat ombak biru yang tak pernah kudaki…
Ruang kenyataan tanpa palung hati…
Sebuah hiasan terbaik yang kumiliki di semua dimensi hari…
(19 november 2008)
MAHASISWA?
Muhammad Haekal
Hanya itukah ilmu mu?
Belajar untuk melempar batu…
Di tengah jembatan kau adu uratmu…
Sesama saudara membunuh tanpa malu…
Hanya itukah ilmu mu?
Meneriakkan kata setia dengan jiwa…
Namun melepasnya dalam sekejap mata…
Dan lihatlah pendahulumu di ’98…
Mereka berdarah….berkorban…
Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…
Dan lihat dirimu…
Yang darahnya tertumpah sia-sia..
Tanpa guna suatu apa..hanya derita dan jerit tanpa nyawa…
Hai kau di sana!!!!!
Masihkah kau mengaku mahasiswa?!
(25 November 2008)
*refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini
SEBUAH PINTA
Nurhikmah
Maaf
Bila kalimatku
Bila sikapku
Bila candaku
Telah mengotori taman hatimu
Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya
Taman yang diagungkan orang keperawanannya
Namun kini…
Seakan ku tak percaya
Sebab aku ia ternoda?
Maaf
Aku akan pergi saja
Agar kau lupa
Agar tamanmu kembali seperti sediakala
(Taman hatiku. Minggu/ 19 oktober 08)
LELAH
Nurhikmah
Pada siapa harus kumengadu
Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku
Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan
Menambah gelapnya sisi hidupku
Aku lelah
Ingin rasanya aku menghilang
Jauh dari smua makhluk Tuhan
Kehampaaan menjadi teman
Ketakutan jadi hiasan
Aku berada disimpang jalan
Tak tahu kemana harus menyebrang
Mencari mutiara yang telah hilang
Aku hilang
Terbang melayang
Terhenti
Ditempat yang tak kukenali
Dan mutiaraku tak kutemui.
(Alam maya/ November 2008)
AIR DANAU
Deddy Firtana Iman
Luasan genangan alas
air dalam kolam
Setipis sulaman
Mengikat talam dalam
genangan daun
menyemakkan danau
melukiskan kuncupan daun
Air berarak kacau
Danau yang tersudutkan
oleh perantau
menangis pilu lupakan kehidupan
Terseret oleh arus yang kacau
Menepis cemaran air danau
(2008)
LUKA KECILKU
Deddy Firtana Iman
Waktuku berdosa di masa lalu
Tak mengenal arti Tuhan
Masa muda terabaikan
Peradaban luka kecilku
Kosong melompong pikiran batinku
Hanya ucapan terasa-rasa kalbu
Kamarku mulai berhantu
Tentang kisah para pengikut suku
Pisau di tangan pembunuh berdarah
Tak tersentuh pertaubatan
Matipun takut aku rasakan
Telah bersusah payah aku berbaik hati
Cuma rasa kasihan mati
Itupun sehari semalam
Impian luka yang tenggelam
20-07-2008
Muhammad Haekal, mahasiswa IAIN Ar-Raniry
Nurhikmah, mahasiswa Almuslim Peusangan
Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah
13 December 2008
Sumber:
Koran Online Harian Aceh
Muhammad Haekal
Dan semua tanpa warna…
Semu malam gulita…
Bersemilir angin tak berkala…
Aku mewajah gerah…
Tanpa usang semua terbang…
Dengan debu melekat hampa…
Kutawar berada pagi…
Yang biasa bermatahari tanpa bintang abadi…
Dan semua memberkas kilaunya…
Petang yang datang…hilang…
Kesempurnaan awan yang menghujan…
Malam yang mengembun…menantang…
Tanpa selimut aku duduk di haluan…
Berteman angin meyakin Tuhan…
Dan semua sejalan berpaling…
Tak mampu kulupakan dengan sekepul asap…
Tak mampu hilang dengan secangkir panas hitam…
Dan kusapa jenuh sang bulan pagi…
Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…
Sang cahaya yang terkadang menepi namun memberi…
Berkias alam menebar wangi…
Tempat ombak biru yang tak pernah kudaki…
Ruang kenyataan tanpa palung hati…
Sebuah hiasan terbaik yang kumiliki di semua dimensi hari…
(19 november 2008)
MAHASISWA?
Muhammad Haekal
Hanya itukah ilmu mu?
Belajar untuk melempar batu…
Di tengah jembatan kau adu uratmu…
Sesama saudara membunuh tanpa malu…
Hanya itukah ilmu mu?
Meneriakkan kata setia dengan jiwa…
Namun melepasnya dalam sekejap mata…
Dan lihatlah pendahulumu di ’98…
Mereka berdarah….berkorban…
Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…
Dan lihat dirimu…
Yang darahnya tertumpah sia-sia..
Tanpa guna suatu apa..hanya derita dan jerit tanpa nyawa…
Hai kau di sana!!!!!
Masihkah kau mengaku mahasiswa?!
(25 November 2008)
*refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini
SEBUAH PINTA
Nurhikmah
Maaf
Bila kalimatku
Bila sikapku
Bila candaku
Telah mengotori taman hatimu
Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya
Taman yang diagungkan orang keperawanannya
Namun kini…
Seakan ku tak percaya
Sebab aku ia ternoda?
Maaf
Aku akan pergi saja
Agar kau lupa
Agar tamanmu kembali seperti sediakala
(Taman hatiku. Minggu/ 19 oktober 08)
LELAH
Nurhikmah
Pada siapa harus kumengadu
Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku
Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan
Menambah gelapnya sisi hidupku
Aku lelah
Ingin rasanya aku menghilang
Jauh dari smua makhluk Tuhan
Kehampaaan menjadi teman
Ketakutan jadi hiasan
Aku berada disimpang jalan
Tak tahu kemana harus menyebrang
Mencari mutiara yang telah hilang
Aku hilang
Terbang melayang
Terhenti
Ditempat yang tak kukenali
Dan mutiaraku tak kutemui.
(Alam maya/ November 2008)
AIR DANAU
Deddy Firtana Iman
Luasan genangan alas
air dalam kolam
Setipis sulaman
Mengikat talam dalam
genangan daun
menyemakkan danau
melukiskan kuncupan daun
Air berarak kacau
Danau yang tersudutkan
oleh perantau
menangis pilu lupakan kehidupan
Terseret oleh arus yang kacau
Menepis cemaran air danau
(2008)
LUKA KECILKU
Deddy Firtana Iman
Waktuku berdosa di masa lalu
Tak mengenal arti Tuhan
Masa muda terabaikan
Peradaban luka kecilku
Kosong melompong pikiran batinku
Hanya ucapan terasa-rasa kalbu
Kamarku mulai berhantu
Tentang kisah para pengikut suku
Pisau di tangan pembunuh berdarah
Tak tersentuh pertaubatan
Matipun takut aku rasakan
Telah bersusah payah aku berbaik hati
Cuma rasa kasihan mati
Itupun sehari semalam
Impian luka yang tenggelam
20-07-2008
Muhammad Haekal, mahasiswa IAIN Ar-Raniry
Nurhikmah, mahasiswa Almuslim Peusangan
Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah
13 December 2008
Sumber:
Koran Online Harian Aceh
Aku Sungguh Ada
Karya: Deddy Firtana Iman
Kau mungkin tak yakin
Kalau aku masih berjalan
Setelah berjalan berpetualangan
Sesudah mencarimu di pinggiran jalan
Aku sungguh ada
Aku serahkan tiada dua
Agar nanti bahagia
Asalkan kau tak kecewa
Kau mungkin tak yakin
Aku masih dibutuhkan
Dibutuhkan saling pengertian
Agar nantinya dapat merasakan kebahagiaan
13/08/2008
Sumber:
Gemasastrin
Kau mungkin tak yakin
Kalau aku masih berjalan
Setelah berjalan berpetualangan
Sesudah mencarimu di pinggiran jalan
Aku sungguh ada
Aku serahkan tiada dua
Agar nanti bahagia
Asalkan kau tak kecewa
Kau mungkin tak yakin
Aku masih dibutuhkan
Dibutuhkan saling pengertian
Agar nantinya dapat merasakan kebahagiaan
13/08/2008
Sumber:
Gemasastrin
Katakan Percuma
Karya: Deddy Firtana Iman
Mari menari
Dengan iringan lagu
Atau musik lirik cinta
Hanya sebaris kata cinta
Dari malam
Sampai mata terbuka
Untuk melihatku tertawa
Katakan percuma
Dari relung hatimu
Ketika aku masih tersenyum
Untuk dilihat saja
Dari ucapanku
Kalau tak sanggup
Bernyanyi untukku
Katakan percuma
Sebagai ungkapan
Kesesalan darimu
Semoga aku mengerti
13/08/2008
Sumber:
Gemasastrin
Mari menari
Dengan iringan lagu
Atau musik lirik cinta
Hanya sebaris kata cinta
Dari malam
Sampai mata terbuka
Untuk melihatku tertawa
Katakan percuma
Dari relung hatimu
Ketika aku masih tersenyum
Untuk dilihat saja
Dari ucapanku
Kalau tak sanggup
Bernyanyi untukku
Katakan percuma
Sebagai ungkapan
Kesesalan darimu
Semoga aku mengerti
13/08/2008
Sumber:
Gemasastrin
Rindu Yang Merekah
Karya: Deddy Firtana Iman
Telah aku siapkan
Sebungkus nasi gurih
Agar tak lapar
Oleh sengatan matahari
Seakan berbisik manja
Mulai menciumku
Sambil tersenyum
Memelukku hangat
Saling pengertian
Telah aku siapkan
Kata rinduku
Sampai malam
Mimpi indah
Bersamamu di awan
Tanpa hujan
Hanya bintang
Menemaniku dan kau
Telah aku sampaikan
Kata rindu merekah
Semerah bibirmu
Seindah wajahmu
Menyirami wajahku
Agar aku rindu
Kepadamu yang merekah
13/08/2008
Sumber:
Gemasastrin
Telah aku siapkan
Sebungkus nasi gurih
Agar tak lapar
Oleh sengatan matahari
Seakan berbisik manja
Mulai menciumku
Sambil tersenyum
Memelukku hangat
Saling pengertian
Telah aku siapkan
Kata rinduku
Sampai malam
Mimpi indah
Bersamamu di awan
Tanpa hujan
Hanya bintang
Menemaniku dan kau
Telah aku sampaikan
Kata rindu merekah
Semerah bibirmu
Seindah wajahmu
Menyirami wajahku
Agar aku rindu
Kepadamu yang merekah
13/08/2008
Sumber:
Gemasastrin
Puisi Luka
Karya: Dedy Firtana Iman
Coretan penuh makna
Goresan penuh sukma
Aku menuliskan puisi
Sambil melamun sendiri
Diantara mimpi suci
Satu dua tiga
Jadilah cerita cinta
Puisi lengkap nada senja
Dan puisiku melanglang buana
Diantara mimpi tertunda
2009
Sumber:
Gemasastrin
Coretan penuh makna
Goresan penuh sukma
Aku menuliskan puisi
Sambil melamun sendiri
Diantara mimpi suci
Satu dua tiga
Jadilah cerita cinta
Puisi lengkap nada senja
Dan puisiku melanglang buana
Diantara mimpi tertunda
2009
Sumber:
Gemasastrin
Setelah Perjalanan
Karya: Deddy Firtana Iman
Merebahkan tubuh yang lelah
Udara menembus sukmaku
Setelah aku berjalan lelah
Jauhku mimpikan cita-cita
Mencari jati diri sukma
Terhuyung di padang pasir
Setlah cita-cita berlarian
Ke udara dan ke langit
Sejatinya begitulah aku
Terhimpit sukma yang kotor
Tentang imajinasi liarku
Terkungkung terdiam
2009
Sumber:
Gemasastrin
Merebahkan tubuh yang lelah
Udara menembus sukmaku
Setelah aku berjalan lelah
Jauhku mimpikan cita-cita
Mencari jati diri sukma
Terhuyung di padang pasir
Setlah cita-cita berlarian
Ke udara dan ke langit
Sejatinya begitulah aku
Terhimpit sukma yang kotor
Tentang imajinasi liarku
Terkungkung terdiam
2009
Sumber:
Gemasastrin
Kejamnya Negaramu
Karya: Deddy Firtana Iman
Berton-ton bahan peledak
Bermain ke udara menuju
Negara saudaraku
Yang tak tau arah kemana
Masi tersenyum
Dengan kelakarmu
Yang hina itu
Atau kau memang pengecut
Diantara teroris tikus kantor
Seperti di Kotaku
Saad ini dan kau sama saja
2009
Sumber:
Gemasastrin
Berton-ton bahan peledak
Bermain ke udara menuju
Negara saudaraku
Yang tak tau arah kemana
Masi tersenyum
Dengan kelakarmu
Yang hina itu
Atau kau memang pengecut
Diantara teroris tikus kantor
Seperti di Kotaku
Saad ini dan kau sama saja
2009
Sumber:
Gemasastrin
Kisah Hidupku
Karya: Deddy Firtana Iman
Menekan diri tirai memberi
Sudah lelah aku sendiri
Antara aku dan mawar berduri
Mungkin juga aku bunuh diri
Mengapa iri kata berbunyi
Sedangkan aku di tinggal pergi
Walaupun menyusuri jalan kaki
Berarti aku hanya kalah sendiri
Matahari pagi telah berdiri
Menyinari isi hati
Memberikan cahaya penenang diri
Untukku dikala sendiri
Inilah aku yang sendiri
Tentang ketiadaan cinta sejati
Hampa disisiku tiada arti
Terasa berat hidupku ini
Yang dilukai oleh wanita iri hati
25-08-2008
Sumber:
Gemasastrin
Menekan diri tirai memberi
Sudah lelah aku sendiri
Antara aku dan mawar berduri
Mungkin juga aku bunuh diri
Mengapa iri kata berbunyi
Sedangkan aku di tinggal pergi
Walaupun menyusuri jalan kaki
Berarti aku hanya kalah sendiri
Matahari pagi telah berdiri
Menyinari isi hati
Memberikan cahaya penenang diri
Untukku dikala sendiri
Inilah aku yang sendiri
Tentang ketiadaan cinta sejati
Hampa disisiku tiada arti
Terasa berat hidupku ini
Yang dilukai oleh wanita iri hati
25-08-2008
Sumber:
Gemasastrin
Lupakan Dia Ingatkanku
Karya: Deddy Firtana Iman
Tidak ada kabar burung hantu
Setelah malam penuh dosa
Ibaratnya telah lahir Manusia membisu
Memandang kesombongan pemuda kota
Itulah takdirnya kekuasaan peluru
Senjata ungkapan pengebor ungkapan harta
Hilangya keangungan permaisuriku
Dan engkau masi melangkah
Setelah bersuci ketika malam purnama
Tersedu berjalan tanpa kebahagian
Terus berlinangya air matamu
Terus hingga kakimu berdarah
Hanya ungkapan mengumpat
Malam telah menghilang
Dari kebahagianmu
Meluruhkan kebencian di siang hari
Umpatan ketika dirimu ternoda
15-01-2009
Sumber:
Gemasastrin
Tidak ada kabar burung hantu
Setelah malam penuh dosa
Ibaratnya telah lahir Manusia membisu
Memandang kesombongan pemuda kota
Itulah takdirnya kekuasaan peluru
Senjata ungkapan pengebor ungkapan harta
Hilangya keangungan permaisuriku
Dan engkau masi melangkah
Setelah bersuci ketika malam purnama
Tersedu berjalan tanpa kebahagian
Terus berlinangya air matamu
Terus hingga kakimu berdarah
Hanya ungkapan mengumpat
Malam telah menghilang
Dari kebahagianmu
Meluruhkan kebencian di siang hari
Umpatan ketika dirimu ternoda
15-01-2009
Sumber:
Gemasastrin
Masa Lalu
Karya: Deddy Firtana Iman
Rasa sesak menekan ke dada
Melemahkan denyut jantungku
Bermandikan air keringatku
Rasa sesak ke masa lalu
Setelah aku tau caranya
Masa lalu memberatkan pandanganku
Tentang kekuasaan jaman Orde Baru
Terasa emosi mendalam
Terasa jiwa mencekam
Terasa amarah memburam
Kini
Para penguasa itu telah tertidur
Di alam kekejamanya
15-01-2009
Sumber:
Gemasastrin
Rasa sesak menekan ke dada
Melemahkan denyut jantungku
Bermandikan air keringatku
Rasa sesak ke masa lalu
Setelah aku tau caranya
Masa lalu memberatkan pandanganku
Tentang kekuasaan jaman Orde Baru
Terasa emosi mendalam
Terasa jiwa mencekam
Terasa amarah memburam
Kini
Para penguasa itu telah tertidur
Di alam kekejamanya
15-01-2009
Sumber:
Gemasastrin
Badai Kemenangan
Oleh; Deddy Firtana Iman
Kekacauan itu
Merobek isi usus buntu
Hingga mencakarnya
Menjadi sekumpulan debu
Dan binasalah aku
Meradang
Menerjang
Badai kemenangan
Menjuarai kesenangan
Kekacauan itu
Menghapuskanku yang kaku
Tanpa kumegerti
Aku masi melawan
Tentang hukum berdiri sendiri
15-01-2009
Sumber:
Gemasastrin
Oleh; Deddy Firtana Iman
Kekacauan itu
Merobek isi usus buntu
Hingga mencakarnya
Menjadi sekumpulan debu
Dan binasalah aku
Meradang
Menerjang
Badai kemenangan
Menjuarai kesenangan
Kekacauan itu
Menghapuskanku yang kaku
Tanpa kumegerti
Aku masi melawan
Tentang hukum berdiri sendiri
15-01-2009
Sumber:
Gemasastrin
Limit Kepalsuan
Karya : Deddy Firtana Iman
Hari ini kejahatan penguasa telah tertunda
Pada limit janji-janji mereka
Dan segelintir orang-orang
Mulai memaku tatapan beringas mereka
Pada jabatan terkutuk itu.
Kesekian kalinya
Kita tertipu dengan mukadimah
Kebahagiaan mereka
Dan kita di sini
Dengan luka tercabik pada luka yang baru
Ini kisah hidup kami
Apakah tuan begitu!
2009
Minggu, 24 Januari 2010
Blog Deddy Firtana Iman
Hari ini kejahatan penguasa telah tertunda
Pada limit janji-janji mereka
Dan segelintir orang-orang
Mulai memaku tatapan beringas mereka
Pada jabatan terkutuk itu.
Kesekian kalinya
Kita tertipu dengan mukadimah
Kebahagiaan mereka
Dan kita di sini
Dengan luka tercabik pada luka yang baru
Ini kisah hidup kami
Apakah tuan begitu!
2009
Minggu, 24 Januari 2010
Blog Deddy Firtana Iman
Memiriskan Hati
Oleh : Deddy Firtana Iman
Kelopak duri bertahta sendiri
Suasana lakon iri hati
Memungkinkan hidup bertepi
Pada kemelut resah berduri
Rupanya hati teriris sepi
Tancapkanlah pisau tak bergigi
Pada tepian iri hati
Kemungkinan kau sendiri
memaksaku jual diri
Sebab, tiada arti hidup sendiri
2009
Minggu, 24 Januari 2010
Blog Deddy Firtana Iman
Kelopak duri bertahta sendiri
Suasana lakon iri hati
Memungkinkan hidup bertepi
Pada kemelut resah berduri
Rupanya hati teriris sepi
Tancapkanlah pisau tak bergigi
Pada tepian iri hati
Kemungkinan kau sendiri
memaksaku jual diri
Sebab, tiada arti hidup sendiri
2009
Minggu, 24 Januari 2010
Blog Deddy Firtana Iman
Sempurna Terdiam Sepi
Karya: Deddy Firtana Iman
Lihatlah
hamparan pasir di pantai
Berjalanlah
memakai alam pikiran kesegaran hati
Jangan berhenti
penyesalan menghantui dirimu
dan tetap berjalan
Rasakanlah air asinnya
basuhlah kedua tanganmu
dan rasakan kesempurnaan
tanpa terdiam sepi
karena angin menemanimu
di setiap langkah kakimu
25 Januari 2010
Lihatlah
hamparan pasir di pantai
Berjalanlah
memakai alam pikiran kesegaran hati
Jangan berhenti
penyesalan menghantui dirimu
dan tetap berjalan
Rasakanlah air asinnya
basuhlah kedua tanganmu
dan rasakan kesempurnaan
tanpa terdiam sepi
karena angin menemanimu
di setiap langkah kakimu
25 Januari 2010
Langganan:
Postingan (Atom)