Selasa, 24 Mei 2011

Waktu




Waktu
Karya: Deddy Firtana Iman


Misalnya aku menjadi detik

ketika jam dinding mengabarkan

waktu kebahagiaan untukmu

izinkan aku mengabarkan

sesuatu kebahagiaan

sebelum mimpi indahmu

pergi menemani tidurmu


Ketahuilah wahai kekasihku

detak jantungku tak mampu

meneruskan kepercayaan

cintaku untukmu

bersabarlah menunggu

demi waktu yang tersisa untukmu


17 September 2010


Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 03 Oktober, 2010


Sumber:
Youtube

Minggu, 08 Mei 2011

Mawar Merah



Mawar Merah
Karya: Deddy Firtana Iman


Mawar merah
dan segenggam madu.
Kian merekah
mengukir kelabu.



Menatap sepi
pada pelangi mengibarkan jingga.
Langkah kaki ini kian berhenti
melamun menatapnya.



Kumbang yang datang
madu tak tergenggam.
Cerita ini kian mengarang
membasuh cahaya malam.



Mawar merah
dan segenggam madu.
Cerita lama
dan isyarat membisu.


2010

Sumber:
Youtube

Ujung Pancu



Ujung Pancu
Karya: Deddy Firtana Iman

Keringat kita sudah terlalu lelah
mandi dengan keringat perkotaan
hingga lupa pada air yang jernih dan suci
mata air di ujung sana sudah menanti


Perjalanan kita sudah melampaui setengah jam
dengan semburan angin angin menyegarkan
perjalanan kita di pagi yang cerah ini
dan persinggahan hanya sekejap saja


Lihatlah ke sebelah kiri dan kanan kita
rumput rumput menari nari dengan alunan angin
suara burung burung bersahutan riang gembira
dengan kehadiran si anak kota yang aneh


Cepatkanlah langkah kaki kita kawan
tak banyak waktu melamun tentang keindahannya
dan kita juga harus menyisakan keindahan itu
dalam pikiran dan selembar foto yang damai


Kau rasakanlah suara ombak dan angin yang kencang
suasana yang tenang dan nyaman untuk menyendiri
bersama sahabat sahabat dan membuang kebosanan


2010

Sumber:
Youtube

Prettyca Yudra Perdana



Prettyca Yudra Perdana
Karya: Deddy Firtana Iman

Jalan menuju cahaya matamu
melambatkan gerak-gerik
tubuh tak menentu
melayang ke arah lantai dasar hatimu
kian terpukul menangis


Aku mulai jatuh
kesakitan diantara batu-batu mutiara
cahaya kilauanmu


Begitu menyedihkan
jika tatapanku tak mampu
mampir di deretan cahaya matamu


17 Juli 2010

Sumber:
Youtube

Bunga Mawar



Bunga Mawar
Karya: Deddy Firtana Iman


Mawar merah
dan segenggam madu.
Kian merekah
mengukir kelabu.



Menatap sepi
pada pelangi mengibarkan jingga.
Langkah kaki ini kian berhenti
melamun menatapnya.



Kumbang yang datang
madu tak tergenggam.
Cerita ini kian mengarang
membasuh cahaya malam.



Mawar merah
dan segenggam madu.
Cerita lama
dan isyarat membisu.



2010

Sumber:
Youtube

Januari

Karya: Deddy Firtana Iman


Korban kekerasan
Tikamlah aku
Sebelum saadnya

Korban keganasan
Injaklah aku
Sebelum kumarah

Korban kebohongan
Tipulah aku
Sebelum kusadar

Korban kebencian
Hinalah aku
Sebelum aku pergi

Januari
Itulah cerita negeri kami
Para penjilat lidah menari
Sebelum esok berganti Juni

2009
Dimuat di Koran "Lensa Unmuha" edisi VI/Maret 2009

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Ruang Kosong

Karya: Deddy Firtana Iman


Sepi menyindir

Bercahaya gelap gulita

Mata kucing mulai bercahaya

Bocah menangis tiada tanya

Sepiring kumal tanda jadi

Sepintas lemah pun mati

Kematian

Auman kelaparan

Menjadi belenggu tiada akhir

Mencabik-cabik ruangan

Kunci pegangan mulai pergi

Kearah Matahari

Tiada arti si Kecil sendiri

Mati nanti mungkin hari ini

2009

Dimuat di Majalah Lensa Unmuha
Kamis, 2009 Januari 29

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Kertas

Karya: Deddy Firtana Iman


Kertas merah

di daur ulang menjadi merah jambu

terlalu sulit

merangkai bentuk wajah indahmu

sedangkan malam

memudarkan warna hati

hitam bertaburan bintang


07 September 2010


Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 03 Oktober, 2010

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Waktu

Karya: Deddy Firtana Iman


Misalnya aku menjadi detik

ketika jam dinding mengabarkan

waktu kebahagiaan untukmu

ijinkan aku mengabarkan

sesuatu kebahagiaan

sebelum mimpi indahmu

pergi menemani tidur


Ketahuilah wahai kekasihku

detak jantungku tak mampu

meneruskan kepercayaan

cintaku untukmu

bersabarlah menunggu

demi waktu yang tersisa untukmu


17 September 2010


Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 03 Oktober, 2010

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Hitam Pekat

Karya: Deddy Firtana Iman


Di balik lentera hati

ada beberapa insan kata

berhenti hanya tersenyum

dengan sedikit hembusan angin



Kedekatanku

tak pernah menimbulkan

kejiwaan dadakan

menghembuskan kata-kata

di daerah takdir tak bertepi



Seumpama kertas itu

hanya berwarna hitam

maka hitamlah ratapan kita

tak terlihat dengan mata telanjang


2010



Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 19 September, 2010

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Renungan Malam

Karya: Deddy Firtana Iman


Kau telah menyingsut kedinginan

betapa kenestapaan itu terjalin sepi

menandakan bintang-bintang kian

tersenyum melihat bulan di dekat

landasan perbaringan mengapai takdir
mimpi

tiada kata untuk mengucapkan salam
perpisahan

di antara bayangan kerinduan untukmu

sebelum mengapai pagi


(Agustus 2010)

Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 29 Agustus, 2010

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Sempurna Terdiam Sepi

Karya: Deddy Firtana Iman


Lihatlah
hamparan pasir di pantai

Berjalanlah
memakai alam pikiran kesegaran hati

Jangan berhenti
penyesalan menghantui dirimu
dan tetap berjalan

Rasakanlah air asinnya
basuhlah kedua tanganmu
dan rasakan kesempurnaan
tanpa terdiam sepi
karena angin menemanimu
di setiap langkah kakimu



2010

Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 25 July, 2010

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Tak Ingin Usai

Karya: Deddy Firtana Iman


Bahwasannya aku

masih menyisakan waktu

bermanja pada wujudmu



Tak ingin usai

walaupun kusudahi

kesempatan untuk menemui

disetiap jarak isi hati

dengan segalagala hari

hingga kuakui



Aku tak ingin usai

dicintai dan dimengerti

oleh sebuah hati

dari dirimu sendiri



2010

Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 09 Mei, 2010

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Ayah

Karya: Deddy Firtana Iman


Doakanlah untuknya

yang telah membesarkanmu

walaupun wujudmu

menangisi kepergianya

Kusadari

semuanya tiada yang abadi

walaupun kita berdiri

di tepian waktu sekian hari

Dan hari ini

aku juga mendoakanmu

dan Ayahmu juga

Amin


2010


*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 25 April 2010

Puisi ini kupersembahkan untuk berpulang ke rahmatullah, Ayahanda dari sahabatku T Arizona. Semoga segala amalan ibadah Beliau diterima oleh Allah SWT, dan segala kesalahannya diampuni oleh Allah SWT, serta T Arizona beserta seluruh keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan keikhlasan. Amin ya Rabbal Alamin.

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Puisi Jaga Malam

Karya: Deddy Firtana Iman


Malam dingin

aku melamun tentang kesepian kota

terhenti dengan neon perkampungan sudut

kota

apa ada gerangan menjerit duka

dengan berpura-pura mabuk di dekatku

melirikku dengan untaian lagu kesepian

Inilah kota juang

yang dibicarakan orang-orang dungu

tentang pejuang yang gagal

tanpa ada cacat sedikitpun

melarikan diri dari kepungan kematian.

Cahaya inilah buktinya,

terus-menerus melirik jawaban kebena-

ran,

tentang hilangya prajurit kami.


2009


*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 18 April 2010

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Air Mata Ibu

Karya: Deddy Firtana Iman


Ibu mengayuh tangan

menghajar batu kekal

di tepi gunung yang jurangya memikat

kematian


Pulang-pulang

tanganya berlumuran darah

baju basah kuyub

segoni batu-batu telah didapatnya

dengan perasaan yang galau

penuh tanda tanya yang mengherankan

“untuk apa kita hidup

hanya berbekal penipuan yang angkuh

sirna dihapus hujan

tidak abadi di hinggap matahari”


Kami semuanya terdiam

mendengar jerit hatinya

mulai mengeluarkan air batu

dari bola matanya yang resah

aku pikirkan jerit hatinya

tentu saja tapak tanganya

tiada berhenti untuk bekerja

memenuhi kebutuhan kami

hingga Ibu meninggal dirintih kesakitan

oleh hidup melarat kemiskinan


(2009)

*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 11 April 2010

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Isyarat Kematian

Karya: Deddy Firtana Iman

Usiaku
mulai meninggi
dusta nestapa melingkar leher
Ribuan keji munafik tercipta
agama terlupakan

Malaikat mulai mendekat
memperlihat senjata
wujudku membisu

Iblis dan setan-setan mulai tersenyum
Memiliki teman dikemudian harinya
Isyarat kematian untukku

Inilah
aku, lelaki pendusta itu
yang engkau cari
yang selama ini membunuhmu
Lihatlah aku
dan tataplah wajahku


*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 04 April 2010

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Munajat Burung Merak

Karya: Deddy Firtana Iman

Siapa sangka
Tulisanya telah tertulis di batu nisan
Hingga tertidur dengan senyum
Hingga hujan pun membasahi kota kami
Mendengarkan kepergianya

Hilang sudah
Suaranya yang bergetar itu
Kepakan sayapnya yang megah itu
Warna yang merekah itu
Kembali kepadaNya

2009

Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Munajat Natijah

Karya: Deddy Firtana Iman

Kebahagianku dariMu
Milikku adalah milikMu
Segalanya.

Kesabaranku belum dapat diukur
Dengan keimananku
Tunjukkanlah jalanMu
Semoga aku dapat menikmati buah Kurmamu
Ketika Ramadhan berkumandang Sahur
Terwujudlah kesabaran dan keimananku untukMu

Buah-buahan
Kenikmatan tiada tara
Setara atau pun tidak
Adalah milikMu
Munajat Natijah

2009


Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Munajat Nyanyian

Karya: Deddy Firtana Iman


Penuh Doa-doa
Kebahagiaan itu hadir dipelukanku
Seperti senja menarik fajar

Kenikmatan apa lagi
Yang hadir dalam rebahan takdirku
Penuh sujud syukur
Kebahagiaan itu hadir kembali
Di hari esok yang kelabu

Nyanyian hati
Bahasa jiwa yang terpatri
Dari hari ke hari
Penuh kesabaran

2009


Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Munajat Kerinduan

Karya: Deddy Firtana Iman

Terbuka mataku
Cerahan cahaya menusuk
Membenarkan adanya diriMu

Lamunanku pun memanggil namaMu
Rindunya aku padaMu

Kebahagian dan kerinduanku
Tepat tertunduk bersujud
Siang dan Malam
Memberikan cahaya panggilanMu

MerindukanMu
Siang dan Malam
Tak terlupakan
Doa-doa memujamu

2009

Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 13 September 2009

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Hening

Karya: Deddy Firtana Iman

Aku akan hilang tanpa menyentuh tanah
Seperti angin berisi daging Manusia
Mempermainkan kekosongan waktu
Demi ujung tali terputus isyarat cintanya
Tanpa kata-kata penutup mata kebisingan
Itulah titik akhir waktu persinggahanku
Terbakar oleh ketidak pastian cuaca pagi
Mengantarkanku pada roh persinggahanku
Hingga membuatku menelusuri surga dunia

2009

Dimuat di Koran "Harian Aceh" Minggu, 26 Juli 2009

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Katakan Percuma

Karya: Deddy Firtana Iman


Mari menari

Dengan iringan lagu

Atau musick lirik cinta

Hanya sebaris kata cinta

Dari malam

Sampai mata terbuka

Untuk melihatku tertawa

Katakan percuma

Dari relung hatimu

Ketika aku masih tersenyum

Untuk dilihat saja

Dari ucapanku

Kalau tak sanggup

Bernyanyi untukku

Katakan percuma

Sebagai ungkapan

Kesesalan darimu

Semoga aku mengerti


13/08/2008


*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu, 08 Maret 2009

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Aku Sungguh Ada

Karya: Deddy Firtana Iman


Kau mungkin tak yakin

Kalau aku masih berjalan

Setelah berjalan berpetualangan

Sesudah mencarimu di pinggiran jalan

Aku sungguh ada

Aku serahkan tiada dua

Agar nanti bahagia

Asalkan kau tak kecewa

Kau mungkin tak yakin

Aku masih dibutuhkan

Dibutuhkan saling pengertian

Agar nantinya dapat merasakan kebahagiaan


13/08/2008


*Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 8 Maret 2009

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Luka Kecilku

Karya: Deddy Firtana Iman


Waktuku berdosa di masa lalu

Tak mengenal arti Tuhan

Masa muda terabaikan

Peradaban luka kecilku

Kosong melompong pikiran batinku

Hanya ucapan terasa-rasa kalbu

Kamarku mulai berhantu

Tentang kisah para pengikut suku

Pisau di tangan pembunuh berdarah

Tak tersentuh pertaubatan

Matipun takut aku rasakan

Telah bersusah payah aku berbaik hati

Cuma rasa kasihan mati

Itupun sehari semalam

Impian luka yang tenggelam

20-07-2008

Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 14 Desember 2008

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Air Danau

Karya: Deddy Firtana Iman

Luasan genangan alas

air dalam kolam

Setipis sulaman

Mengikat talam dalam

genangan daun

menyemakkan danau

melukiskan kuncupan daun

Air berarak kacau

Danau yang tersudutkan

oleh perantau

menangis pilu lupakan kehidupan

Terseret oleh arus yang kacau

Menepis cemaran air danau

2008


Dimuat di koran lokal "Harian Aceh"
Minggu 14 Desember 2008


Sumber:
Deddy Firtana Iman

Pelangi

Karya: Deddy Firtana Iman

Cahaya dari balik alam langit
Antara malam tinggal kenangan
Sebelum awan datang menyempit
Manusia bersyukur dengan kegirangan

Cahayanya penyejuk hati manusia
Berbisik lugu kepada awan
Unutk bumi cucurkan air hujan
Biarkan manusia yang menikmatinya

Bumi menunggu akan tibanya pelanggi
Bercahaya diatas bumi
Sambil tersenyum memberi arti
Senantiasa impikan sanubari

Tampa sebab akibat ia pergi
Terang benderang iapun selesai
Sambil pergi berbenah diri
Cahaya pelangipun mulai sepi

2008

Dimuat tanggal 19-10-2008


Sumber:
Deddy Firtana Iman

Pensil Kayu

Karya: Deddy Firtana Iman

Pensil kayu
Ketika aku merayu
Hanya ragu pada engkau
Tertulis sebuah laguKisah sejati rindu
Laku terjual goresan batinku

2008

Dimuat tanggal 19-10-2008


Sumber:
Deddy Firtana Iman

Putri Malu

Karya: Deddy Firtana Iman

Pipit berduri katanya mau
Puput sendir bertanya mau
Nunut berdiri siapanya tahu
Ninit berlari sampainya dihari minggu

Utari merayu beraninya begitu
Utami berbaju merahnya merah jambu
Dela maju dirayunya aku
Dila penipu kenanya pacarmu

Prettyca sayu matanya layu
Prettyca mau dirinya begitu
Prettyca jemu akunya merayu
Prettyca rindu akunya tahu

2008

Dimuat tanggal 19-10-2008

Karya: Deddy Firtana Iman

Sumber:
Deddy Firtana Iman

Dia Telah Pergi

Karya: Deddy Firtana Iman

Kubuka mata gelap gulita
Menagis sendu tiada rasa
Tiada kembang bunga disini
Pergi jauh di sudut kaki

Melunglai badan bergerak lemah
Memangil gadis sekuat amarah
Akankah dia mendengar suara ini
Telah jauh melangkah berlari

Pergilah jauh tinggalkan akuTanpa duka aku menanti
Uluran tanggan kata hati
Seucab janji tak akan laku

2008

Dimuat tanggal 02-08-2008


Sumber:
Deddy Firtana Iman

Hembusan Angin

Karya:Deddy Firtana Iman

Angin bertiup gemulai,tampak dedaunan berterbangan.
Sedih melihat petir berteriak di langit yang tidak memperdulikan alat pendengaranku
Sesaat kemudian,badanku merasakan kedinginan
Menit-menit kemudian,badanku mulai mengigil
Dingin
Takut beku
Takut sakit
Menggapa kejadian ini yang terjadi padaku
Hanya di sore ini,yang membuat badanku membeku
Badanku lemah membeku oleh hembusan angin

2008

Dimuat di Harian Aceh,hari Sabtu tanggal 12-07-2008.


Sumber:
Deddy Firtana Iman

Setengah Jiwa

Karya: Deddy Firtana Iman

Tiupkan udara dalam mulutku
Berdiri tegang di hadapanku
Aku bersimpu untuk berdiri
Terasa dingin untuk sendiri

Wajah kertas kuning tercipta
Sebatang korek api menyala-nyala
Tertiup lilin aku mati rasa
Jangan bersedih aku mati rasa
Goncangan jiwa antara kita

Terguncang tertinpa dirimu
Aku menjerit setengah jiwa
Lamunan impian penyejuk mata
Akan terasa dekat denganmu

2008

dimuat di Harian Aceh,hari Sabtu tanggal 12-07-2008.


Sumber:
Deddy Firtana Iman

Sabtu, 07 Mei 2011

Membaca Tabir Kalbu Mahasiswa Kontemporer

(Catatan Kecil untuk Puisi Parade Tiga Kampus)

Oleh Herman RN

GULITA YANG BERGANTI

Muhammad Haekal

Dan semua tanpa warna…

Semu malam gulita…

Bersemilir angin tak berkala…

Aku mewajah gerah…

Tanpa usang semua terbang…

Dengan debu melekat hampa…

Kutawar berada pagi…

Yang biasa bermatahari tanpa bintang abadi…

Dan semua memberkas kilaunya…

Petang yang datang…hilang…

Kesempurnaan awan yang menghujan…

Malam yang mengembun…menantang…

Tanpa selimut aku duduk di haluan…

Berteman angin meyakin Tuhan…

Dan semua sejalan berpaling…

Tak mampu kulupakan dengan sekepul asap…

Tak mampu hilang dengan secangkir panas hitam…

Dan kusapa jenuh sang bulan pagi…

Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…

Sang cahaya yang terkadang menepi namun memberi…

Berkias alam menebar wangi…

Tempat ombak biru yang tak pernah kudaki…

Ruang kenyataan tanpa palung hati…

Sebuah hiasan terbaik yang kumiliki di semua dimensi hari…

(19 november 2008)

MAHASISWA?

Muhammad Haekal

Hanya itukah ilmu mu?

Belajar untuk melempar batu…

Di tengah jembatan kau adu uratmu…

Sesama saudara membunuh tanpa malu…

Hanya itukah ilmu mu?

Meneriakkan kata setia dengan jiwa…

Namun melepasnya dalam sekejap mata…

Dan lihatlah pendahulumu di ’98…

Mereka berdarah….berkorban…

Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…

Dan lihat dirimu…

Yang darahnya tertumpah sia-sia..

Tanpa guna suatu apa..hanya derita dan jerit tanpa nyawa…

Hai kau di sana!!!!!

Masihkah kau mengaku mahasiswa?!

(25 November 2008)

*refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini

SEBUAH PINTA

Nurhikmah

Maaf

Bila kalimatku

Bila sikapku

Bila candaku

Telah mengotori taman hatimu

Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya

Taman yang diagungkan orang keperawanannya

Namun kini…

Seakan ku tak percaya

Sebab aku ia ternoda?

Maaf

Aku akan pergi saja

Agar kau lupa

Agar tamanmu kembali seperti sediakala

(Taman hatiku. Minggu/ 19 oktober 08)

LELAH

Nurhikmah

Pada siapa harus kumengadu

Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku

Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan

Menambah gelapnya sisi hidupku

Aku lelah

Ingin rasanya aku menghilang

Jauh dari smua makhluk Tuhan

Kehampaaan menjadi teman

Ketakutan jadi hiasan

Aku berada disimpang jalan

Tak tahu kemana harus menyebrang

Mencari mutiara yang telah hilang

Aku hilang

Terbang melayang

Terhenti

Ditempat yang tak kukenali

Dan mutiaraku tak kutemui.

(Alam maya/ November 2008)

AIR DANAU

Deddy Firtana Iman

Luasan genangan alas

air dalam kolam

Setipis sulaman

Mengikat talam dalam

genangan daun

menyemakkan danau

melukiskan kuncupan daun

Air berarak kacau

Danau yang tersudutkan

oleh perantau

menangis pilu lupakan kehidupan

Terseret oleh arus yang kacau

Menepis cemaran air danau

(2008)


LUKA KECILKU

Deddy Firtana Iman

Waktuku berdosa di masa lalu

Tak mengenal arti Tuhan

Masa muda terabaikan

Peradaban luka kecilku

Kosong melompong pikiran batinku

Hanya ucapan terasa-rasa kalbu

Kamarku mulai berhantu

Tentang kisah para pengikut suku

Pisau di tangan pembunuh berdarah

Tak tersentuh pertaubatan

Matipun takut aku rasakan

Telah bersusah payah aku berbaik hati

Cuma rasa kasihan mati

Itupun sehari semalam

Impian luka yang tenggelam

20-07-2008

Muhammad Haekal, mahasiswa IAIN Ar-Raniry

Nurhikmah, mahasiswa Almuslim Peusangan

Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah

Puisi sebagai sebuah karya sastra yang “merdeka”, yang lahir dari proses kontemplasi mendalam bukanlah milik penyair sudah jadi semata. Akan tetapi, orang yang sudah berhasil menulis puisi dan produktif di wilayah kerjanya (menulis puisi) akan disebut sebagai penyair adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaannya, bagaimanakah bila yang melakoni itu mahasiswa?

Sejatinya, banyak penyair Tanah Air di era kontemporer tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi—baik negeri maupun swasta. Di warkah ini, saya tak mesti menyebutnya satu per satu. Namun, dapat diamati dari berbagai lomba cipta puisi yang diadakan di berbagai daerah, peserta yang ikut kebanyakan dari mahasiwa. Bahkan, ada pula yang memang namanya “Lomba Cipta Puisi Tingkat Mahasiswa”. Lantas, saat mahasiswa tersebut berhasil meraih penghargaan, sebagian kecil mulai menggerayangi kerja penciptaan puisi sehingga ia pun diakui sebagai penyair, bolehkah?

Sulit memang mencari identitas kepenyairan dalam diri seseorang: apakah karena ia telah berhasil menulis sebuah puisi dan menang dalam sebuah lomba akan dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang tidak menang lomba tetapi puisinya dimuat di salah satu media (koran) baru disebut sebagai penyair; atau mereka yang tak pernah menang lomba dan tak pernah dimuat di media, tetapi puisinya sudah pernah dibukukan dalam antologi bersama penyair lain yang boleh dikatakan sebagai penyair; atau mereka yang puisinya tidak pernah menang lomba, tidak pernah dimuat media, tidak pernah dibukukan dalam antologi bersama, melainkan menerbitkan dalam buku sendiri, yang disebut sebagai penyair; atau mereka yang hanya menulis puisi pada buku catatan hariannya, tidak pernah dikirim ke media, tidak pernah diikutkan lomba, tidak pernah dibukukan, disebut sebagai penyair? Sulit mencari standardisasi ini, sebab predikat kepenyairan bukan diperoleh dari jenjang akademik, meskipun yang seorang penulis puisi ada yang sudah tiga kali menyandang gelar mahasiswa (sarjana, pascasarjana, dan doktoral). Gelar kepenyairan hanya dapat diperoleh dari pengakuan orang banyak, tentunya setelah si penulis puisi tersebut memang mampu menghasilkan karya untuk ortodoks dan dilakukan secara produktif.

Lantas, salahkah mereka—beberapa mahasiswa—yang mencoba-coba menulis puisi lalu mengirimkannya ke media? Dan bagaimanakah karya yang mereka kirimkan tersebut? Berikut ini saya coba mengamati karya-karya mahasiwa tersebut. Karena keterbatasan ruang, puisi yang saya amati tidak mungkin semua mahasiswa. Saya hanya mencoba mengamati puisi milik tiga mahasiswa yang berasal dari tiga perguruan tinggi, yang puisi-puisi mereka dimuat di Harian Aceh (lihat Parade Puisi Tiga Kampus).

Mendengar nama mahasiswa, saya kira sejumlah orang akan membayangkan kata-kata “tawuran, demonstrasi, belajar, dosen, kuliah, sarjana, cita-cita, kos, susah hidup, cobaan, dan kisah cinta.” Asumsi sederhana ini tidak salah. Lantas, apakah semua kata-kata itu akan tumpah dalam bentuk puisi?

Kita mulai saja dengan puisi milik Muhammad Haekal. Judul puisi “Gulita yang Beganti” sudah jelas memperlihatkan tentang keresahan seseorang—dalam hal ini sebut saja si penulis puisi tersebut. Betapa kata “gulita” digambarkan sebagai cobaan pahit dan gamang, semakin terdeteksi pada bait pertama yang memakai frasa: semua tanpa warna, semu malam gulita, semilir angin tak ada, wajah gerah, semua terbang, melekat hampa, dan matahari tanpa bintang abadi.

Di sini kelihatan bahwa mahasiswa IAIN Ar-Raniry tersebut sedang gundah dan resah menghadapi cobaan dalam hidupnya. Perjalanan waktu yang penuh cobaan dan tantangan—apalagi sebagai mahasiswa—dipertegas dalam bait kedua: semua memberkas kilaunya…/Petang yang datang… hilang…/ Kesempurnaan awan yang menghujan…/Malam yang mengembun…menantang…/Tanpa selimut aku duduk di haluan…//.

Akan tetapi, meskipun gundah itu tergambar dalam, Haekal mencoba untuk tegar sehingga memunculkan sebuah keyakinan tentang adanya Tuhan dalam semesta cobaan. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat: Berteman angin meyakin Tuhan… Sayangnya, penulis puisi ini terjebak pada kalimat penyesalan, padahal ia sudah berusaha tegar dalam godaan. Hal ini terlihat dalam barisan kalimat: Dan kusapa jenuh sang bulan pagi/ Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…/.

Selanjutnya, pada puisi kedua, kerasahan Haekal mulai muncrat ke permukaan. Jika tadi resah itu ia simpan dalam bentuk gundah dalam hati, pada puisi “Mahasiswa?” ia mulai keluar sehingga acap menggunakan kalimat tanya: hanya itukah ilmumu? (kalimat ini sempat terjadi repetisi) dan masihkah kau mengaku mahasiswa?

Dapat dimaknai bahwa keresahan dalam puisi “Mahasiswa?” lebih kepada apa yang diamati oleh si penulis puisi. Ia gundah dengan apa yang dilakoni dan dihasilkan oleh mahasiswa sekarang. Menurut Haekal, kerja mahasiswa sekarang lebih kepada tawuran yang tak ada arti, yang tak ada hasil. Ia mengejeknya dengan “ilmu mahasiswa sebatas belajar melempar batu, saling teriak di jembatan, saling adu mulut sesama mahasiswa.” Sedangkah mahasiswa pada tahun ’98, menurut Haekal, tidak sekedar berteriak di tengah jembatan, tetapi juga dapat melengserkan jabatan dengan peluh dan darah yang siap dikorbankan. Dan lihatlah pendahulumu di ’98…/Mereka berdarah….berkorban…/Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…/

Bahwa puisi tersebut sebagai petuah kepada para mahasiswa yang sekarang suka tawuran sesama tanpa membuahkan hasil apa-apa dipertegas Haekal melalui catatan kaki: refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini. Satu hal mungkin dapat dipertanyakan dalam puisi-puisi Haekal adalah mengapa setiap barisnya harus diakhiri dengan tanda elips (titik-titik)?

Membongkar Hati Hikmah

Berbeda dengan Haekal, dua puisi Nurhikmah (selanjutnya disapa Hikmah) yang terpilih dalam “Parade Puisi” di Harian Aceh ini lebih kepada perasaan, naluri, dan hati yang bergejolak atas nama cinta. Boleh dikatakan puisi yang pertama adalah keresahan dan penyesalan karena telah membuat seseorang mencintai (dalam hal ini sebut saja mencintai si penulis puisi). Penyesalan itu jelas terlihat dalam diksi pertama dipakai kata “maaf”. Dan penyesalan tersebut semakin nyata pada bait kedua saat mahasiswa Almuslim Peusangan ini berujar: //Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya/Taman yang diagungkan orang keperawanannya/Namun kini…/Seakan ku tak percaya/Sebab aku ia ternoda?//.

Jika pada puisi tersebut mengungkapkan penyesalan telah ‘memasuki’ hati seseorang, puisi kedua, “Lelah”, menunjukkan keresahan hati si penulis puisi sendiri yang telah ‘dimasuki’ seseorang. Puisi “Lelah” seakan menjadi soal atau jawaban dari puisi pertama yang berjudul “Sebuah Pinta”. Hal ini terlihat sejak bait pertama: //Pada siapa harus kumengadu/Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku/Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan/Menambah gelapnya sisi hidupku/Aku lelah/Ingin rasanya aku menghilang/Jauh dari smua makhluk Tuhan/…

Ada pula kebimbangan dalam pusi ini: Kehampaaan menjadi teman/Ketakutan jadi hiasan/Aku berada disimpang jalan/Tak tahu kemana harus menyebrang/… Kebimbangan tersebut ternyata untuk mencari mutiara yang hilang//.

Jelaslah, kata kunci “mutiara” dapat menjadi perlambang cinta. Hal ini berdasarkan keseringan yang kita dengar bahwa ‘mencuri’ mutiara dari hati seseorang berarti sama dengan ‘mencuri’ cinta dan kasih sayangnya. Siapakah orangnya? Hanya Nurhikmah yang tahu, karena puisi sangat ambigu untuk menebak sebuah kepastian murni.

Penyesalan Deddy

Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah, yang puisinya juga terpilih dalam episode “Parade Puisi” di Harian Aceh kali ini juga berkisah tentang keresahan. Namun, keresahan Deddy berbeda dengan resah Haekal tentang amatan masa sekarang dan resah Hikmah tentang ‘mutiaranya’ yang dicuri. Keresahan Deddy lebih kepada sebentuk penyesalan masa silam.

Hal ini dinukilkannya dalam kedua puisinya. Puisi pertama “Air Danau” berkisah tentang penyesalah hidup di perantauan yang mungkin takkan kacau-balau jika ia tak merantau. //Air berarak kacau/Danau yang tersudutkan/oleh perantau/menangis pilu lupakan kehidupan//.

Penyesalan mengapa si penulis puisi harus meninggalkan masa lalunya dan pergi merantau dipertegas bait penutup puisi tersebut. //Terseret oleh arus yang kacau/Menepis cemaran air danau//.

Pada puisi kedua, “Luka Kecilku”, Deddy langsung membuka sajaknya dengan ungkapan penyesalan masa lalu. //Waktuku berdosa di masa lalu/Tak mengenal arti Tuhan/Masa muda terabaikan /Peradaban luka kecilku//.

Penyesalan masa kecil itu ternyata karena ia harus percaya pada seorang pemimpin yang kemudian diketahui oleh si penulis puisi ini pemimpin itu bukanlah Tuhan pembawa kebenaran. Namun, kisah tentang itu semakin melekat dalam benaknya yang dilambangkan dengan kata: Kamarku mulai berhantu/ tentang kisah para pengikut suku//.

Membaca Zaman

Mengamati puisi-puisi yang ditulis oleh mahasiswa itu mengesankan bahwa dengan puisi mereka telah membaca perubahan zaman. Kendati masih ada galau yang disampaikan hanya berdasarkan dan untuk hati sendiri, sejatinya sebuah puisi telah dapat mewakilkan sebuah asa dan rasa: asa terhadap sebuah mimpi mengejar masa depan, baik atas nama pribadi maupun atas nama bangsa; serta rasa ingin mendapatkan kedaiaman. Inilah realisme mahasiswa kontemporer—mahasiswa yang hidup di zaman serba kacau-balau ini. Mereka lupa berkisah bagaimana ruang kuliah, seperti apa dosen mengajar, atau dari mana memperoleh uang jajan, tetapi mereka mulai berkisah tentang kondisi carut-marut zaman.

Herman RN adalah alumni Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah

Sumber:
Herman RN

Parade Puisi Mahasiswa

GULITA YANG BERGANTI

Muhammad Haekal

Dan semua tanpa warna…

Semu malam gulita…

Bersemilir angin tak berkala…

Aku mewajah gerah…

Tanpa usang semua terbang…

Dengan debu melekat hampa…

Kutawar berada pagi…

Yang biasa bermatahari tanpa bintang abadi…

Dan semua memberkas kilaunya…

Petang yang datang…hilang…

Kesempurnaan awan yang menghujan…

Malam yang mengembun…menantang…

Tanpa selimut aku duduk di haluan…

Berteman angin meyakin Tuhan…

Dan semua sejalan berpaling…

Tak mampu kulupakan dengan sekepul asap…

Tak mampu hilang dengan secangkir panas hitam…

Dan kusapa jenuh sang bulan pagi…

Yang sebentar lagi tergantikan oleh matahari…

Sang cahaya yang terkadang menepi namun memberi…

Berkias alam menebar wangi…

Tempat ombak biru yang tak pernah kudaki…

Ruang kenyataan tanpa palung hati…

Sebuah hiasan terbaik yang kumiliki di semua dimensi hari…

(19 november 2008)

MAHASISWA?

Muhammad Haekal

Hanya itukah ilmu mu?

Belajar untuk melempar batu…

Di tengah jembatan kau adu uratmu…

Sesama saudara membunuh tanpa malu…

Hanya itukah ilmu mu?

Meneriakkan kata setia dengan jiwa…

Namun melepasnya dalam sekejap mata…

Dan lihatlah pendahulumu di ’98…

Mereka berdarah….berkorban…

Tumbangkan rezim tegakkan reformasi…

Dan lihat dirimu…

Yang darahnya tertumpah sia-sia..

Tanpa guna suatu apa..hanya derita dan jerit tanpa nyawa…

Hai kau di sana!!!!!

Masihkah kau mengaku mahasiswa?!

(25 November 2008)

*refleksi tawuran antar-mahasiswa yang sering terjadi belakangan ini

SEBUAH PINTA

Nurhikmah

Maaf

Bila kalimatku

Bila sikapku

Bila candaku

Telah mengotori taman hatimu

Taman yang kutahu dan kudengar keindahannya

Taman yang diagungkan orang keperawanannya

Namun kini…

Seakan ku tak percaya

Sebab aku ia ternoda?

Maaf

Aku akan pergi saja

Agar kau lupa

Agar tamanmu kembali seperti sediakala

(Taman hatiku. Minggu/ 19 oktober 08)

LELAH

Nurhikmah

Pada siapa harus kumengadu

Tentang hilangnya mutiara di dasar hatiku

Tersisa hanya noda kelam dan menyesatkan

Menambah gelapnya sisi hidupku

Aku lelah

Ingin rasanya aku menghilang

Jauh dari smua makhluk Tuhan

Kehampaaan menjadi teman

Ketakutan jadi hiasan

Aku berada disimpang jalan

Tak tahu kemana harus menyebrang

Mencari mutiara yang telah hilang

Aku hilang

Terbang melayang

Terhenti

Ditempat yang tak kukenali

Dan mutiaraku tak kutemui.

(Alam maya/ November 2008)

AIR DANAU

Deddy Firtana Iman

Luasan genangan alas

air dalam kolam

Setipis sulaman

Mengikat talam dalam

genangan daun

menyemakkan danau

melukiskan kuncupan daun

Air berarak kacau

Danau yang tersudutkan

oleh perantau

menangis pilu lupakan kehidupan

Terseret oleh arus yang kacau

Menepis cemaran air danau

(2008)


LUKA KECILKU

Deddy Firtana Iman

Waktuku berdosa di masa lalu

Tak mengenal arti Tuhan

Masa muda terabaikan

Peradaban luka kecilku

Kosong melompong pikiran batinku

Hanya ucapan terasa-rasa kalbu

Kamarku mulai berhantu

Tentang kisah para pengikut suku

Pisau di tangan pembunuh berdarah

Tak tersentuh pertaubatan

Matipun takut aku rasakan

Telah bersusah payah aku berbaik hati

Cuma rasa kasihan mati

Itupun sehari semalam

Impian luka yang tenggelam

20-07-2008

Muhammad Haekal, mahasiswa IAIN Ar-Raniry

Nurhikmah, mahasiswa Almuslim Peusangan

Deddy Firtana Iman, mahasiswa FKIP Unsyiah


13 December 2008

Sumber:
Koran Online Harian Aceh

Aku Sungguh Ada

Karya: Deddy Firtana Iman


Kau mungkin tak yakin

Kalau aku masih berjalan

Setelah berjalan berpetualangan

Sesudah mencarimu di pinggiran jalan

Aku sungguh ada

Aku serahkan tiada dua

Agar nanti bahagia

Asalkan kau tak kecewa

Kau mungkin tak yakin

Aku masih dibutuhkan

Dibutuhkan saling pengertian

Agar nantinya dapat merasakan kebahagiaan


13/08/2008

Sumber:
Gemasastrin

Katakan Percuma

Karya: Deddy Firtana Iman


Mari menari

Dengan iringan lagu

Atau musik lirik cinta

Hanya sebaris kata cinta

Dari malam

Sampai mata terbuka

Untuk melihatku tertawa

Katakan percuma

Dari relung hatimu

Ketika aku masih tersenyum

Untuk dilihat saja

Dari ucapanku

Kalau tak sanggup

Bernyanyi untukku

Katakan percuma

Sebagai ungkapan

Kesesalan darimu

Semoga aku mengerti


13/08/2008

Sumber:
Gemasastrin

Rindu Yang Merekah

Karya: Deddy Firtana Iman
Telah aku siapkan

Sebungkus nasi gurih

Agar tak lapar

Oleh sengatan matahari

Seakan berbisik manja

Mulai menciumku

Sambil tersenyum

Memelukku hangat

Saling pengertian

Telah aku siapkan

Kata rinduku

Sampai malam

Mimpi indah

Bersamamu di awan

Tanpa hujan

Hanya bintang

Menemaniku dan kau

Telah aku sampaikan

Kata rindu merekah

Semerah bibirmu

Seindah wajahmu

Menyirami wajahku

Agar aku rindu

Kepadamu yang merekah


13/08/2008

Sumber:
Gemasastrin

Puisi Luka

Karya: Dedy Firtana Iman


Coretan penuh makna

Goresan penuh sukma

Aku menuliskan puisi

Sambil melamun sendiri

Diantara mimpi suci

Satu dua tiga

Jadilah cerita cinta

Puisi lengkap nada senja

Dan puisiku melanglang buana

Diantara mimpi tertunda

2009


Sumber:
Gemasastrin

Setelah Perjalanan

Karya: Deddy Firtana Iman

Merebahkan tubuh yang lelah
Udara menembus sukmaku
Setelah aku berjalan lelah
Jauhku mimpikan cita-cita
Mencari jati diri sukma
Terhuyung di padang pasir
Setlah cita-cita berlarian
Ke udara dan ke langit
Sejatinya begitulah aku
Terhimpit sukma yang kotor
Tentang imajinasi liarku
Terkungkung terdiam

2009


Sumber:
Gemasastrin

Kejamnya Negaramu

Karya: Deddy Firtana Iman

Berton-ton bahan peledak
Bermain ke udara menuju
Negara saudaraku
Yang tak tau arah kemana
Masi tersenyum
Dengan kelakarmu
Yang hina itu
Atau kau memang pengecut
Diantara teroris tikus kantor
Seperti di Kotaku
Saad ini dan kau sama saja

2009


Sumber:
Gemasastrin

Kisah Hidupku

Karya: Deddy Firtana Iman

Menekan diri tirai memberi
Sudah lelah aku sendiri
Antara aku dan mawar berduri
Mungkin juga aku bunuh diri

Mengapa iri kata berbunyi
Sedangkan aku di tinggal pergi
Walaupun menyusuri jalan kaki
Berarti aku hanya kalah sendiri

Matahari pagi telah berdiri
Menyinari isi hati
Memberikan cahaya penenang diri
Untukku dikala sendiri

Inilah aku yang sendiri
Tentang ketiadaan cinta sejati
Hampa disisiku tiada arti
Terasa berat hidupku ini
Yang dilukai oleh wanita iri hati

25-08-2008

Sumber:
Gemasastrin

Lupakan Dia Ingatkanku

Karya: Deddy Firtana Iman

Tidak ada kabar burung hantu
Setelah malam penuh dosa
Ibaratnya telah lahir Manusia membisu
Memandang kesombongan pemuda kota
Itulah takdirnya kekuasaan peluru
Senjata ungkapan pengebor ungkapan harta
Hilangya keangungan permaisuriku
Dan engkau masi melangkah
Setelah bersuci ketika malam purnama
Tersedu berjalan tanpa kebahagian
Terus berlinangya air matamu
Terus hingga kakimu berdarah
Hanya ungkapan mengumpat
Malam telah menghilang
Dari kebahagianmu
Meluruhkan kebencian di siang hari
Umpatan ketika dirimu ternoda

15-01-2009

Sumber:
Gemasastrin

Masa Lalu

Karya: Deddy Firtana Iman

Rasa sesak menekan ke dada
Melemahkan denyut jantungku
Bermandikan air keringatku
Rasa sesak ke masa lalu
Setelah aku tau caranya
Masa lalu memberatkan pandanganku
Tentang kekuasaan jaman Orde Baru
Terasa emosi mendalam
Terasa jiwa mencekam
Terasa amarah memburam
Kini
Para penguasa itu telah tertidur
Di alam kekejamanya

15-01-2009

Sumber:
Gemasastrin
Badai Kemenangan

Oleh; Deddy Firtana Iman

Kekacauan itu
Merobek isi usus buntu
Hingga mencakarnya
Menjadi sekumpulan debu
Dan binasalah aku
Meradang
Menerjang
Badai kemenangan
Menjuarai kesenangan
Kekacauan itu
Menghapuskanku yang kaku
Tanpa kumegerti
Aku masi melawan
Tentang hukum berdiri sendiri

15-01-2009

Sumber:
Gemasastrin

Limit Kepalsuan

Karya : Deddy Firtana Iman

Hari ini kejahatan penguasa telah tertunda
Pada limit janji-janji mereka
Dan segelintir orang-orang
Mulai memaku tatapan beringas mereka
Pada jabatan terkutuk itu.

Kesekian kalinya
Kita tertipu dengan mukadimah
Kebahagiaan mereka
Dan kita di sini
Dengan luka tercabik pada luka yang baru

Ini kisah hidup kami
Apakah tuan begitu!

2009

Minggu, 24 Januari 2010


Blog Deddy Firtana Iman

Memiriskan Hati

Oleh : Deddy Firtana Iman

Kelopak duri bertahta sendiri
Suasana lakon iri hati
Memungkinkan hidup bertepi
Pada kemelut resah berduri
Rupanya hati teriris sepi

Tancapkanlah pisau tak bergigi
Pada tepian iri hati
Kemungkinan kau sendiri
memaksaku jual diri
Sebab, tiada arti hidup sendiri

2009

Minggu, 24 Januari 2010

Blog Deddy Firtana Iman

Sempurna Terdiam Sepi

Karya: Deddy Firtana Iman

Lihatlah
hamparan pasir di pantai

Berjalanlah
memakai alam pikiran kesegaran hati

Jangan berhenti
penyesalan menghantui dirimu
dan tetap berjalan

Rasakanlah air asinnya
basuhlah kedua tanganmu
dan rasakan kesempurnaan
tanpa terdiam sepi
karena angin menemanimu
di setiap langkah kakimu

25 Januari 2010